Perempuan itu pernah berlaku terlalu berani. Kehilangan gaung suara hati. Kesadaran yang bersembunyi. Merasa merdeka mencintai. Lupa, sengaja melupa tuaian yang akan terjadi. Perempuan itu sudah kalah karena dia, dia dan dia. Kisah cinta yang ganjil buat ia menjadi pembunuh, pembunuh karakter untuk diri sendiri. Binasa yang mencelakakan pun seolah silent partner perempuan itu.
Demi mencari kenyamanan, penerimaan, perempuan itu menjadi cadas penuh hasrat.
Tak ada ketegasan sejak awal. Cinta dan kesetiaan saja sudah tergadai kala bermain-main dengan kemalangan.
Diawali dengan kekeliruan, bukan berarti harus diakhiri dengan kesalahan yang menerus. Perempuan itu sadar diri. Pernah bukan berarti kalah. Ya, selama bumi masih ada, selama masih bernafas, ia harusnya berbalik. Kisah cinta yang ganjil tak boleh lagi buat perempuan itu, menari dalam kata apa lagi huruf-huruf mati. Perang dunia antar hati dan pikiran. Lebih baik ia menjadi camar yang sendirian ketimbang berdua, menerima simfoni indah tapi berujung duka kehancuran.
Sudah.
Perempuan itu sudah merasa lelah dengan formalitas yang tlah dilakukan.
Kisah cinta yang ganjil itu ternyata penuh tipu daya. Harus dihentikan. BERAKHIR. Langkah perempuan itu tidak lagi harus terhambat. Tidak lagi harus kehabisan daya, kehabisan tenaga. Di sini, perempuan itu yang punya kuasa. Ia harus dan benar-benar harus menguasai diri dalam berbagai-bagai dosa yang merayu.
***
Rantauprapat, 30 Maret 2022
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H