Mundurnya kontrol diri, meningkatnya kompromi perihal hal yang keliru. Hari itu adalah musim suram untuk perempuan itu. Banjir kata-kata datang menerjang. Â Dalam sunyi, menjadi pembunuh untuk tidak mengasihi diri sendiri. Mati konyol dalam kebodohan. Meninggalkan kejujuran hati. Gagal bertumbuh dan berproses dengan selayaknya.
Lugu, terlihat baik yang ternyata tidak begitu. Hari itu, perempuan itu menambah sederet nilai merah di rekam jejak yang ada. Tidak berani bersuara, antara takut atau enggan. Perempuan itu bermain-main dengan kemalangan. Hari itu, perempuan itu jatuh ke titik nol. Kembali merumitkan diri sendiri, mengabaikan pentingnya menjaga awareness. Memaksa diri untuk mengiyakan pada hal yang seharusnya "tak".
Sangarnya sentuhan, belaian, menanduskan kandungan nilai yang lama dihidupi perempuan itu. Wadah kehidupan menjadi kotor. Mengerikan, mau sampai kapan perempuan itu jatuh? Â Hari itu, perempuan itu tidak lagi bisa menangis. Rasa sakit yang tidak akan terlupa seolah biasa-biasa saja. Menormalkan diri terhadap hal itu. Terbukti, belati yang ada di mata perempuan itu, kini telah di bumi hanguskan.
The power of no, hari itu tidak merdeka untuk perempuan itu. Ia tidak terbaca, bak tulisan medis yang tidak akan terbaca oleh orang awam. Bengkok dengan sengaja. Perempuan itu dan hari itu, sebuah kisah tentang kekalahan. Ia meminang rasa nyaman yang bukan menjadi haknya. Seperti penyakit yang sulit untuk diobati. Perempuan itu mencipta panas hati dan muram pada dirinya. Perempuan itu bernama, kebablasan. Perempuan oh perempuan, dasar arongan yang payah.
Akan menjadi seperti apa perempuan itu, jika masih berkompromi dan abu-abu saat dosa itu merayu dirinya?Â
***
Rantauprapat, 17 Maret 2022
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H