Buatkan teh bu, kata bapak pagi ini. Masih melihat dan mendengar suara bapak ibu, itu merupakan kesejahteraan bagiku. Bodoh memang, sering mengumpat dalam hati. Berlaksa duri terucap dari bibir. Ingin dimengerti tanpa mau mengerti. Tidak menghidupi syukur.
Ya, Â seluruh waktu yang sudah kulalui, Â kasih bapak ibu sudah mengalir. Â Hari ini dan esok, jika masih memiliki esok, tenang teduhku tentunya jika masih memiliki doa-doa dari bapak ibu. Jika aku didepak dari doa-doanya bapak ibuku, aku akan menjadi seperti gelembung dan kupu-kupu yang sayapnya patah.
Mereka terbatas dalam banyak hal, namun tak henti berusaha mencipta wangi cinta. Menghidupkan sentuhan bahagia. Di rahim waktu, bapak ibuku bersikukuh berjuang menaklukkan keterbatasan, di masa tua tetap menyelesaikan kewajiban dan tanggung jawab. Sungguh, benar-benar aku harus menebar air mata yang benar lagi tulus dari hati untuk bapak ibuku, menebar doa baik.
Ibuku sampai hari ini, masih berkata, aku tidak bisa mewariskan apa-apa, kecuali firman/ajaran Tuhan yang selalu kubaca.
Bukankah kasih yang paling paripurna, berasal dari pada bapak ibu. Aku pun di mulai karena mereka. Pada Sang Maha, aku masih meminta, jika ada yang benar-benar harus pergi dan berakhir bernafas lebih dulu, itu aku. Terlalu takut kehilangan.
Dan aku, seseorang yang harus terus belajar untuk mencintai bapak ibu dengan hati. Aku harus bertumbuh dengan riap dalam hal cinta kasih untuk mereka. Sebab aku mengasihi orang tuaku.
Ya, bapak ibuku adalah kasih yang paling paripurna.
***
Rantauprapat, 02 Maret 2022
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H