Sesungguhnya saya telah menyerahkan bagian yang tidak bagianmu. Dan ini pun adalah seutuhnya kekeliruan. Saya melanggar ketetapan yang menjadi rambu yang ada. Merasa diistimewakan, diberi penerimaan, merasa hangat pelukan kamu, itu hanya rasa yang sungguh-sungguh diciptakan sendiri oleh saya.
Kamu katakan rumah itu pasti, hanya belum dapat diisi. Itu bullshit. Pembodohan karena saya percaya. Tak akan pernah ada rumah, bahkan untuk lahan pun tak akan pernah tersedia. Tak akan pernah ada kata KITA. Well, jika tanpa kita maka saya akan tetap hidup, hidup yang lebih hidup. Semoga!
Kamu itu penambah deretan kesalahan di seluruh saya, pecahan beling yang mampu melukai. Ada cinta yang harus mati terbunuh, itu kamu. Kamu seperti tinta hitam, gelap pekat.
Dalam luasnya jejak-jejak sejarah yang masih harus saya jalani, kamu tidak lagi boleh menjadi penjelajah dan memberi language of love pada saya. Saya kamu sudah sad ending. Muak, jijik. Begitu bodoh, membiarkan diri jatuh sejatuh-jatuhnya pada kamu.
Jika tanpa kita maka saya, akan tetap hidup. Walau demikian, sedkitnya pasti ada kesedihan. Ada luka yang harus disembuhkan. Sejujurnya begitu!
***
Rantauprapat, 21 Februari 2022
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H