Berakhir sebagai daun jatuh. Kering, murung, sunyi, ibarat kelabu yang punya warna kusam. Akibat ingin dimengerti, diterima, diharapkan, ternyata itu hanya angan-angan. Kenapa hati terlalu payah.
Dan aku, seperti puing-puing.Hu, lagi aku seperti pohon Anggur yang tidak riap tumbuhnya. Tersesat di hutan sendu. Lesap dari kata-kata bermakna.
Ini cinta atau cinta yang diduga semata.
Tak ada waktu bersama, tak pernah berjalan-jalan berdua, tak ada helaian kenangan indah secuil pun.
Formalitas latar belakang, kalau pun terjadi pertemuan.
Seharusnya aku tidak mengenal kamu, terbukti kamu seseorang yang tidak memiliki nama. Entah ada rahasia besar apa dengan itu sehingga aku tidak merdeka untuk tahu. Adalah baik jika aku tetap kesepian, mencumbui malam seorang diri ketimbang dengan kamu yang hanya membutuhkan kehadiranku di saat-saat luang.
Luruh dalam harapan yang tidak berhak kuharapkan. Kamu pemecah rekor dari pendahulu yang sudah singgah di hatiku untuk kategori penasihat ulung dan pemain hati terbaik yang menabur lara duka.
Bagaimana kamu melakukan itu?
Bolehkah aku belajar untuk itu? Terkadang ingin. Aku berdukacita, aku seorang perempuan yang diam-diam jatuh cinta pada cinta yang nyatanya telah berdua. Ya, lagi, lagi, dan lagi gagal menerjemahkan rasa yang hadir. Ada yang berkata, cinta tak pernah salah, menurutku, itu tidak benar. Seharusnya aku tidak jatuh cinta pada cinta yang telah sepasang.
Akhirnya, aku berakhir sebagai daun jatuh.
Menjadi sisa.
***
Rantauprapat, 09 Februari 2022
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H