puisi-puisi yang ditulis perempuan itu dan terbaca oleh anda, ada opini yang tersimpulkan, bahwa anda adalah rumah yang belum nyata. Kemudian, ia bertanya kembali tentang opini anda, bagaimana mengenai rumah tersebut? Jawaban anda cukup melegakan, bahwa rumah itu pasti namun belum siap untuk ditempati.
DariLantas, apa rumah itu akan pernah ditempati? Tak ada yang benar-benar tahu. Anda berkata, pernah berharap rumah yang sudah pasti itu akan ditempati. Perempuan itu tidak mengetahui, pernah berharap apakah masih berharap untuk itu.
Barangkali perempuan itu terlalu berlebihan, terlalu banyak berharap.
Sedang anda, hanya menjalani setengah hati, mungkin juga tidak pakai hati. Lagi-lagi itu pun opini semata.
Jauh sebelum mengenal anda, tidak pernah mudah untuk perempuan itu. Kini, sesudah anda ada, tetap tidak mudah. Ia bersusah payah untuk menjaga kesehatan perasaannya. Anda seperti "LONGGUR" yang mampu melukai, namun anda juga dirimbuni kenangan yang mampu membuat perempuan itu baik-baik saja.
Perempuan itu memang menunggu, apakah rumah yang belum nyata tersebut akan benar menjadi nyata dan pasti juga siap untuk ditempati.
Selanjutnya, jika itu hanya akan menjadi helaian kenangan, layu dan ditenggelamkan oleh angin Timur. Patah, sepenuhnya terluka. Berakhir pada kata "Tak". Ia harus tabah.
Pilihan perempuan itu hanya harus kuat, berjuang menyelesaikan perjalanan hidup.
Kemudian, perlahan perempuan itu akan bisa menikmati hidup, hidup yang penuh kerumitan demi kerumitan sekalipun.
***
Rantauprapat, 06 Februari 2022
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H