Yakni pada hari itu, terbelenggu. Tempat yang harusnya menjadi penerimaan malah menjadi tempat yang paling menyedihkan. Ada perpisahan tanpa kata.
Dan hari ini saya melihat sesuatu bagaikan kilatan petir, dan itu di tengah kemarau. Sejarah dahulu kembali terulang.Pagi hari ini tak seperti pagi yang seharusnya. Saya lelah. Terlalu banyak drama, kamuflase, kesombongan yang menjulang. Tak ada udara pagi yang berhembus dengan baik. Ingin memberontak tapi saya tidak berdaya. Beku oleh disabilitas fisik pun nurani. Entah siapa yang seharusnya dibela dan disalahkan.
Yakni pada hari itu, sudah terlalu banyak luka. Mau berapa dasawarsa lagi harus merasakan luka ini lagi. Kepada siapa saya harus berkeluh kesah? Apakah hujan sulit untuk benar-benar selesai di dunia saya? Sudah terlalu lelah berlari dari nyata hidup, sudah terlalu lelah juga membiarkan diri menjadi korban kebodohan.
Hey, kamu yang sedang saya perjuangkan. Tentang kamu yang saya namakan harapan. Akankah kamu akan mendekat? Berharap demikian. Sehingga sejarah yang dahulu, yakni pada hari itu bisa sedikit terlupa dan terabaikan. Lebih baik saya berjuang walau terbatas dari pada saya menyerah kalah karena takut.
Kepala saya berat karena derita. Terlampau sakit. Saya tahu, tidak bisa saya menyalahkan kelahiran saya. Yakni pada hari itu, ketika saya ada di muka bumi. Entah itu karena cinta yang paling bahagia, entah tidak. Yang saya tahu, saya adalah keterbatasan yang membutuhkan ketidakterbatasan Tuhan.
Pada buku dan halaman kehidupan.
Saya masih menanti kesadaran juga penerimaan diri yang benar-benar benar. Sungguh!
Juga luka pada hari itu akan berguguran. Saya akan basah dalam pemeliharaan Tuhan. Basah oleh hujan berkat.
***
Rantauprapat, 29 September 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H