Kukira, kesejahteraanku adalah kesejahteraanmu. Perkiraanku keliru. Kini itu hanya omong kosong. Aku sudah meletakkan asa untuk bersamamu. Kuakui. Dahulu, aku ingin menjadi selalumu. Namun tidak lagi.
Roham nga mubah. Dang tarpilit ho di au. Ada kecemburuan yang tak bisa kupahami memang. Sudahlah, aku/kamu hanya jarak yang tak bisa ditempuh.
Hatiku telah dingin, sedingin dinihari terhadapmu. Memang ada kengerian dan ketakutanku juga benci untukmu. Aku sungguh ingin lupa tentangmu. Aku sudah kalah. Jatuh. Dan berakhir. Jika ini tentangmu. Tak lagi mampu kalah-mengalah demi kebersamaan.
Tadinya, aku berharap bahwa kamu adalah jawaban dari pertanyaanku. Jawaban dari ketakutanku. Hingga, aku ingin menjadi selalumu. Sekarang ini, hati dan logikamu tak terima lagi keterbatasanku. Perlahan, kenanganmu yang tertinggal akan terhapus dari linimasa hatiku.
Jujur, aku sakit dan terluka. Aku sering berpura-pura. Aku ingin beristirahat. Tak mengisi ruang dalam hatiku dengan beraromantika asmara. Maret, menjadi bulan yang memerlukan kekuatan lebih untuk menjalani. Ada perpisahan yang bertamu. Dan ada kesadaran untuk menerima kenyataan.
Ya, luka ini tak begitu mudah untuk sembuh. Hu, bagaiman pun. Dahulu, aku ingin menjadi selalumu. Ya, hanya dahulu. Aku tak mungkin lupa, aku sudah kehilangan kepercayaan terhadapmu.
***
Rantauprapat, 20 Maret 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H