Namun apa daya, jika yang ditabur belum tentu dituai. Ini bicara tentang harapan yang baik. Saat ingin menghinggap, dipaksa berhenti berjuang. Tak lagi ada keseiramaan.
Kali ini, tak lagi kuasa untuk menggapai. Yang ditabur adalah asa bahagia, tetapi yang dituai adalah semak duri. Begitu rapuh. Ini cerita dan catatan perjalanan hidup yang menjadi sejarah.
Ada kekalahan di satu hati karena hati yang lain. Perbedaan keberterimaan, ada kesenjangan yang payah. Akhirnya kembali terpaksa lalu terbiasa untuk sebuah kehilangan. Dan perlu kata merdeka untuk kalimat, SELAMAT TINGGAL. Perlu benar-benar belajar untuk itu.
Bum. Tetapi yang dituai adalah semak duri. Kenyataan itu memmberi kesedihan. Entah bagaimana, ada saat rasanya ingin mati. Bodoh memang. Namun, begitulah hidup, saat gandum yang menaungi tak lagi mampu menjadi air gula yang manis bagi hati.
Bersama derasnya ratapan yang keluar dari mata telanjang, sungguh ingin melepaskan kesesakan hati. Demi keberlangsungan kesejahteraan diri, berusaha untuk tidak menyusahkan diri terhadap tuaian yang dirasa.
Ya, belajar menerima kenyataan hidup. Mengabaikan sesuatu yang tak berfaedah di dalam hidup. Terlebih, ketika yang dituai adalah semak duri, tetap tegar. Putuskan pilihan untuk bangkit.
***
Rantauprapat, 18 Maret 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI