Kita dipertemukan tapi sepertinya tidak untuk disatukan. Jika bertahannya aku membuatmu tersiksa, aku akan berusaha ikhlas untuk melepaskanmu. Â Walau aku sendiri merasakan sakit.
Kita sama-sama tahu keterbatasanku. Â Jika kini, kamu ragu dan tidak siap bertanggung jawab atas keterbatasanku, aku akan berusaha ikhlas kamu pergi. Walau aku sendiri ingin, kamu jangan pernah pergi.
Aku tak tahu, apakah waktuku telah habis denganmu. Tapi, setelah keputusanmu untuk berpisah, diam-diam, aku masih mencari tahu tentang kamu. Padahal, aku yang terluka dan patah hati. Kamu yang melemahkan hatiku tapi aku masih gemar menulis puisi patah hati. Mendengar lagu-lagu patah hati. Ahh.
Aku merindu.
Kuyakin kau tahu.
Rindu tanpa kata dan suara. Salahkah bila aku masih berharap?
Mungkin ya, mungkin juga tidak.
Masihkah ada hasratmu untuk kembali ke arahku? Aku merindu, tapi aku takut!
Bolehkah aku merindumu?
Terima kasih, karena tidak pergi ke mana-mana. Dari kejauhan, aku masih bisa melihatimu. Barangkali, karena aku terlanjur memberi kepercayaan dan rasa terhadapmu. Aku tak tahu kabarmu saat ini, entah merindukanku juga? Atau sedah menikmati kebebasanmu tanpa ada aku.
Terlihat begitu rumit. Akuy mengalami rasa sakit tapi kenapa aku harus tetap merindu. Aku belum bisa hentikan rindu ini. Hu, aku bisa tersenyum karena merindu. Lalu, aku menangisi diriku. Mengeluarkan air mata, karena sadar telah kehilangan.
Ah, rindu!
Kenapa harus bertamu di hatiku. Membuatku gelisah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI