Musim patah hati datang dan kembali tiba padaku. Sepi, duka sendiri berkerumun ke arahaku. Ya. Karena patah hati, aku berjalan dalam kegelapan. Tidak tahu, ke mana aku pergi.
Entah kenapa, aku membiarkan diriku berjalan dalam kegelapan. Seperti cangkang kosong, aku sendiri tahu, hidup bukan melulu tentang patah hati. Bukan pula selalu tentang kepahitan. Entah kenapa pula, aku melarikan diri dari kesadaran. Aku gelisah dan membenci hidup, padahal sesungguhnya bukan aku yang memiliki hidupku. Terlalu angkuh.
Ketika yang kusemogakan berkhianat pada harap, aku tidak boleh mencuri yang bukan bagianku. Aku bertahan dalam keegoisan. Bukan malah berserah sepenuhnya pada Sang Maha Sempurna. Kenapa aku harus berdenyut dan biarkan diri pergi berjalan dalam kegelapan dalam jangka waktu yang sangat lama? Ah, dasar bodoh. Ya, aku bodoh.
Harusnya aku terjaga dan menjaga diriku dari kesukaran yang kurasa. Karena hidup tidak berhenti hanya karena aku patah hati. Untuk apa, aku memperkosa makna dan arti hidupku sendiri dengan terus berjalan dalam kegelapan? Untuk apa, aku hanya mementingkan urusan patah hati!
Tidak!
Aku tidak boleh seperti ini. Aku tak boleh terpuruk dan merelakan kekosongan merenggut kesejahteraanku. Aku boleh menangis, tapi bukan pasrah dan menghanguskan harapanku akan menikmati hidup. Aku harus mengendalikan diri dan jangan sampai berputus asa!
Aku tak boleh kehilangan harapan!!!
***
Rantauprapat, 09 Maret 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H