Pagi itu, pada hari yang kedua puluh empat bulan kedua, perempuan itu tidak bisa menguasai diri sendiri. Ia menyerahkan waktu luangnya pada hasrat yang menggoda. Dosa itu merayu lagi, dan ia jatuh pada ratapan.
Ia terjerat pada waktu yang malang, dengan sadar menjadi gelembung dan kupu-kupu yang sayapnya patah atas kehendak sendiri. Payah, angkuh, bodoh.
Perempuan itu sudah asing dari koridor yang sebenarnya, ini hal yang menakutkan, tapi ia sulit untuk memberontak. Lagi-lagi, ada penyesalan yang tak termaafkaan untuk diri sendiri. Pada hari ini, ia bersembunyi di balik kata "lugu".
Akhirnya kalah pada hasrat yang bukan milik perempuan itu, liar dan ganas. Menikmati basah oleh hujan. Sepertinya, ia akan menjadi kecut dan tawar hati. Terancam, karena hati perempuan itu tak lagi tenteram.
Ia marah pada diri, tapi turut pula menikmati kebodohan. Perempuan itu mengheningkan cipta dari kebenaran, pagi tadi sebenarnya kegirangan sudah melayu. Ia mengadopsi kesia-siaan.
Selalu menjadi alasan untuk kalah, ketika waktu senggang yang perempuan itu miliki tidak disertai kebenaran. Tak perduli pada hati nurani, terjerat pada waktu yang malang.
Ah, untuk kesekian kalinya. Perempuan itu tergoda pada dosa yang merayu. Sampai kapan, perempuan itu terus jatuh dan tak melepaskan diri dari zona berbahaya?
Sebenarnya ia takut dan gentar, tapi lagi-lagi ia hanya diam dan membisu.
Jujur, perempuan itu sedih. Ia merasakan longgur berbunyi dengan keras di dalam hati dan kepalanya. Tapi untuk bangkit, ia sulit. Tak ada tenang teduh hari ini pada perempuan itu. Seperti pohon Anggur yang tidak riap tumbuhnya, begitulah drama yang diciptakan perempuan itu pada dirinya sendiri hari ini. Terjerat pada waktu yang malang.
*longgur = petir
***
Rantauprapat, 24 Februari 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H