Dalam kemalangan, perempuan itu sudah kehilangan damai sejahtera. Mau tak mau, ia bertahan dalam sunyi. Di selasar sepi, ia menjadi layu. Kenapa layu? Lagi-lagi kesengajaan ia rasakan. Gandum itu memberi ketidakadilan. Tatap hampa yang penuh ratapan. Ia ingin mati. Tak berhasrat bahkan tak bergairah.
Apakah perempuan itu akan terus seperti ini? Kenapa layu? Kenapa harus berbeda? Perempuan itu juga ingin berbahagia. Hidup rasanya telah berkabar, bahwa perempuan itu memang berbeda. Lantas, mengapa ketenang teduh harus berhenti?
Seberapa banyak, keberterimaan yang harus dimiliki perempuan itu? Kembali perempuan itu pada hujan, hujan air mata. Ya, malam ini ia telah kembali pada hujan. Lalu, perempuan itu pergi bersama penyesalan dan sedu sedan.
Ia tidak suka kegelapan tapi malam ini, pada kepala malam perempuan itu, ia ingin bersimpuh di dalam hamparan mimpi. Lupa pada duka luka. Ia seperti berada dalam gantang. Bak pohon Anggur yang tidak riap tumbuhnya. Perempuan itu telah kalah pada patah hati.
Kenapa layu? Â Karena perempuan itu membiarkan degil hati berada dekat dengannya. Membiarkan perjamuan sunyi menjadi teman. Perempuan itu tidak sanggup mengakhiri patah hati yang merayu.
Februari, bulan yang penuh cinta. Kenapa harus memuara pada riwayat luka? Â Perempuan oh perempuan, kenapa layu diri dan hatimu? Berdiri di ujung lara. Ketika asa diadukan dengan realita yang menganga. Akhirnya. Kenapa layu? Karena, perempuan itu telah beku, dingin dan berantakan.
***
Rantauprapat, 09 Februari 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H