Sayang. Rasa sayang macam apa yang ingin berjarak. Yang bertahan dalam keraguan bahkan yang bertahan dalam keegoisan. Menjadi sebuah dilema, mau seperti apa nantinya. Lalu. Masihkah harus berharap. Sudah digantungkan. Diacuh tak acuhkan. Diabaikan.
Rasa. Sudah usaikah? Sudah habis musnahkah? Menjadi penyesalan yang tak termaafkaan. Ada banyak tanya, tapi tak ada air mata kali ini. Mungkin air mata sudah lelah untuk mengisi bola mata yang telanjang.
Hari ini, penolakan itu sudah amat menjadi duka luka. Saat itu, saat tak ada respon yang seharusnya. Tak ada percakapan yang manis, karena ragu sudah menciptakan hura-hara. Menyerah sebelum memulai. Sebelum memperjuangkan.
Lagi, sulit membaca waktu. Sulit menerjemahkan rasa. Sulit menahan diri dari ketidakpastian yang sempurna. Ingin mengheningkan cipta dari kegaduhan. Namun, tetap saja gagal. Tentu saja, hal ini merupakan rentetan rasa sakit karena mencintai. Penuh elegi.
Lantas, harus bagaimana? Haruskah kalah-mengalah dan menanggung duka kehilangan atas penyesalan yang tak termaafkaan. Rasa dan kenyamanan yang pernah menari, haruskah dibiarkan melayu. Kini, tiada bertumbuh kegirangan dalam hati. Ah, sunyi sepi ini sungguh menyiksa. Tapi biarlah cinta menemukan muaranya sendiri.
***
Rantauprapat, 07 Februari 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H