Malam ini berjalan lebih dingin. Kupikir aku memang payah. Menangis seorang diri di kebisuan malam. Aku mencoba menerima hidup, namun ucapmu membunuh kedamaianku. Entah kau sadar atau tidak, ucap dan suaramu itu berarti untukku.
Di Rantauprapat, ternyata malam ini kesedihan menjadi milikku. Kau tahu aku sedang sakit, aku sedang terluka, tapi kau menambah rasa sakit itu. Kau menambah kecemasanku. Kini. Aku menyaksikan bahwa ucapmu yang mengatakan padaku, kau ingin kesejahteraanku terus ada, ternyata hanya tipu muslihat.
Karenamu, aku diangkut ke dalam pembuangan. Kau menjadi kengerian pada malamku. Apakah aku menjadi beban hidup untukmu? Saat ini, aku mempertanyakan pertanyaan di dalam hatiku. Benarkah kesejahteraanku adalah kesejahteraanmu?
Rasa sakit ini, aku ingin menghentikan. Sebelum malam berganti pagi. Sebelum tanggal berganti. Andai, jawaban dari pertanyaanku adalah tidak. Ternyata kesejahteraanku tidak merupakan kesejahteraanmu. Aku yang salah jika menuntut lebih. Aku menjadi ratu tega, mengharapkan sesuatu yang sulit kau beri. Aku harus meredam hasrat untuk mendapatkan kesejahteraan darimu. Mau tak mau, aku tak bisa menolak setiap ucap yang akan kau suarakan. Itu hakmu.
Sesungguhnya, itu adalah andai yang tak pernah kuinginkan.
Aku mencintaimu, dan jangan racuni cintaku. Aku tak ingin menyerah pada kesedihan ini. Terhadap segala kesedihan yang menimpaku malam ini, yang disebabkan olehmu, aku ingin berdamai. Aku berusaha untuk mencintaimu selama sisa nafas yang masih dipercaya Tuhan bagiku.
Lantas, benarkah kesejahteraanku adalah kesejahteraanmu? Entahlah, namun aku memiliki harapan baik untuk pertanyaan itu. Biarlah Tuhan, biarlah aku menyaksikan itu akan nyata.
***
Rantauprapat, 11 Januari 2021
Lusy Mariana Pasaribu