Selama masih bernafas, atas nama kehidupan, segala hal mengenai perasaan dingin dan panas, kemarau dan hujan akan bisa kapan saja terjadi. Semangat yang terkadang ada, terkadang terpendam.
Dalam sejarah hidup, pasti pernah merasakan mendung. Namun, bukankah mendung tak selamanya kelabu. Nyatanya, selama bumi masih ada, tempat kesendirian dan tempat keramaian terkadang  adalah hampa. Penuh hiruk pikuk yang palsu.
Mengerti dan tidak dimengerti. Dingin dan panas. Kemarau dan hujan. Hitam terlihat putih. Putih pun terlihat hitam. Ingin mati tapi tak mati. Yang mati mungkin ingin hidup. Ah, payah. Harusnya memperjuangkan sisa nafas yang ada, barangkali harus mencintai hidup.
Hai perempuan, ketika kandungan isi hati bersimpangan arti dengan kebenaran barangkali juga sedikit rasa damai, tak usah berontak jiwa. Tinggalkan saja segala sedu sedan. Semestinya, perjalanan di bumi ini harus tetap memiliki asa. Walau kadang deru cemburu itu terbangun, jangan tamat pada kegelapan cemburu.
Bersama air mata dan bersama teduh jiwa, mengapa harus mengutuk hidup?
Kemarau dan hujan akan silih berganti . Untuk apa hanya diam dalam kebisuan, menantikan dingin dan panas yang berlapiskan dusta. Apa yang harus dilakukan? Entahlah. Mungkin hanya keberterimaan akan kehidupan dunia.
Hai perempuan, bersama jiwa teduh, ketika kebahagiaan telah padam biarkan jiwa melepas kesesakan. Sungguh lebih mulia menghargai hidup dari pada terlalu sibuk memikirkan tentang kemarau dan hujan, apa lagi dingin dan panas hidup yang masih ada.
Ahh, Tuhan tahu itu. Dalam gelap malam dan dalam terang pagi, harus mau dan berusaha untuk mengakhiri patah hati. Jika gagal hari ini, coba lagi esok hari. Miliki mindfulness diri. Dan tak akan merasa diri berada di entah.
***
Rantauprapat, 09 Januari 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI