Terkadang, seringkali aku tak pandai membaca diriku apalagi membaca dirimu. Bahkan, aku pun sering tak pandai membaca asa. Januari adalah bulan pertama di setiap tahun, baru beberapa minggu dilalui, aku harus kalah dan mengalah.
Pun detak yang perlahan, bunyi seperti dahan patah, bak jerami yang diterbangkan badai. Januari ini, patah hati kembali menduduki pikiranku. Mengapa? Aku seakan enggan tersadar dari kesepian.
Tapi ternyata rasa sepiku tidak begitu. Entah, saat keberterimaan kumiliki. Aku enggan tersadar dari keberterimaan, yang memberikan bahagia.
Namun realita, tak membiarkan aku hanya mampu mencintai. Bahwa sepi dan kegaduhan bisa dan mampu membuatku merayu bahkan mencicipi dosa.
Setelah sadar sudah mencicipi dosa, tenang teduh tak lagi dirasakan. Titik ratap dan kertak gigi yang terasa. Butuh penghibur lara dan penghapus sesak. Walau hanya melalui telinga yang siap mendengar keluhku, itu sudah lebih baik. Tak perlu air gula yang semanis madu.
Biarlah angin Desember yang penuh patah hati, yang penuh halaman-halaman gelisah dan sudah kuakhiri, kembali bermain-main dan menjadi peristiwa penting di fragmen bulan Januari bahkan di bulan-bulan selepas Januari.
Aku harus dan mau untuk baik-baik saja dan yang harus diusahakan adalah berdamai dengan segala realita. Aku harus menghidupi hal itu.
Karena kesusahan sehari cukuplah untuk sehari. Ah, sulit untuk mempercayai itu memang.
***
Rantauprapat, 02 Desember 2021
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H