Berapa lama lagi kamu mencintai yang sia-sia? Melakukan kebohongan demi sebuah perhatian, yang nyatanya tidak kamu dapatkan. Kamu berkata-kata seorang diri. Kamu marah dan berbuat dosa.
Sudah lama kamu berpeluk erat dengan dusta. Menjadi seseorang yang mengisi diri dengan hal-hal yang pandir. Mencintai yang sia-sia.
Seharusnya kamu lebih tenang, berjalan dengan tenteram. Pagi tadi, kamu menemukan sebuah pagi yang terasa malam. Menjalani hari tanpa surya. Malam ini, yang kamu temukan sepi sunyi yang hampa.
Sampai kapan, kamu jatuh pada kesia-siaan?
Saat ini, tak kamu temukan hidup yang memberikan nada-nada penerimaan dan kebahagiaan yang tenang teduh.
Kapan kamu akan kembali pada jalur kebenaran? Memiliki semangat hidup yang tak lekas pudar dan menciut.
Untuk apa kamu memiliki catatan khusus atas marabahaya yang kamu lakukan. Memelihara kesia-siaan atas rasa cemas yang sebenarnya tidak begitu. Memikirkan perkara yang tidak seharusnya dipikirkan.
Kenapa kamu harus menyerah di hadapan ketidakpastian yang sempurna? Kamu seperti ranting-ranting yang patah, seperti pohon anggur yang tak riap tumbuhnya.
Sesungguhnya kamu tidak kesepian. Tapi kamu yang membuat dirimu kesepian. Resah, menyedihkan. Menggugurkan keteguhan hatimu sendiri. Mencintai yang sia-sia.
Terlelap bersama kebodohan. Terlihat menderita, padahal sama sekali tidak. Kamu itu seseorang dengan karakter yang bebal. Ini musim dingin, sampai kapan kamu terjebak dalam keadaan dingin yang mengakibatkan luka dan tekanan.
Jika mencintai yang sia-sia bisa membunuh keteguhan hatimu, lantas untuk apa itu kamu teruskan? Entah, aku hanya ingin bertanya. Karena kamu sungguh tak terbaca.
***
Rantauprapat, 23 Desember 2020
Lusy Mariana Pasaribu