Malam ini, perempuan itu ingin berjalan dengan tenteram. Sebab itu, dia membiarkan dirinya dilukai oleh seseorang perempuan yang tidak menyukai puisi. Dia bertindak dalam kemegahan kata penerimaan diri.
Dan dia menjadi damai sejahtera. Perempuan itu saksi terhadap dirinya sendiri. Melepaskan diri dari dosa amarah yang merayunya lagi. Masuk ke daerah yang tidak lagi mengharap-harapkan perbuatan semu. Karena perempuan itu tidak mau kembali seperti singa di antara binatang-binatang hutan yang berjalan angkuh dengan menerkam sesuatu yang tidak seharusnya.
Perempuan itu berhasil membinasakan rayuan yang mengoda hatinya untuk mendapatkan ratapan. Dia mau mendengarkan suara hati yang bersuara padanya, hingga tidak membalas luka yang diterimanya dengan murka dan kehangatan amarah.
Ada sesuatu seperti embun dan seperti dirus hujan yang turun ke atas tumbuh-tumbuhan dalam nalar pun hatinya. Perempuan itu tidak mau kembali terangkum oleh arus air kehambaran, dia telah berperkara dengan keyakinan yang dia miliki. Dia berusaha untuk mempersembahkan warna yang seharusnya dalam sisa-sisa denyut waktu yang masih ada dalam hidupnya.
Ingin mencintai apa yang sepatutnya dicintai. Ya, perempuan itu menjadi saksi terhadap dirinya sendiri. Dia menyaksikan dirinya mampu untuk tidak melakukan pelanggaran, dengan tidak mencicipi dosa yang merayu.
Malam ini, perempuan itu dapat menyelamatkan kesehatan jiwanya dan tidak menanggung pencelaan karena takaran tipu yang menghampiri kepala malamnya. Semoga di malam-malam selanjutnya, perempuan itu mampu menjadi saksi yang benar terhadap dirinya sendiri.
***
Rantauprapat, 14 November 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H