Sering melemparkan diri ke tempat yang dalam, segala gelora kebodohan mengepung perempuan itu. Terusir dari kedalaman yang masuk akal. Pikiran binal yang melingkupi diri. Jiwa perempuan itu pun letih lesu karena sudah menikmati kesia-siaan.
Perempuan itu, telah terangkum oleh arus air kedegilan. Waktu senggang yang dia miliki dinodai dengan warna-warna yang tak wajar. Lumut lautan membelit kesadaran hatinya. Berada di hamparan pahit, dia memberi basah tubuhnya dengan rasa nyeri yang berduyun-duyun.
Nalar yang dimiliki perempuan itu terkadang mengalami jeda dari kebenaran, mengalami kebekuan. Pernah menjadi saksi sebuah kedzoliman, dia pun tersesat di dalam hal itu. Dengan sadar kembali menjadi pelaku sebuah kedzoliman. Dia disesaki oleh airmata yang berjatuhan dengan segala rasanya.
Perempuan itu sering merelakan diri menikmati nyaman nan semu bersama waktu yang dititipi rahasia. Mengikat erat jiwanya dengan kehampaan. Entah kenapa, perempuan itu adalah bagian dari diriku. Aku juga terluka dan terdampar dalam kehampaan.
Aku sering terluka sebab perempuan itu. Dia yang terpeleset dan aku yang tergelincir, terkadang aku merasa malang diri, kenapa perempuan itu menjadi bagian dari hidupku. Entah sudah berapa banyak luka yang merintih-rintih kupunguti sebab perlakuan perempuan itu.
Bukan hanya perempuan itu yang terangkum oleh arus air kedegilan, aku pun secara tidak langsung telah terangkum oleh arus air, arus air hujan yang berujung badai.
Dan kini, aku pun sudah didekap ketakutan. Kerumunan nestapa sering terjadi padaku karena perempuan itu.
***
Rantauprapat, 09 November 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H