Perempuan itu berlari menerjang hujan, manangkap nada-nada ketakutan. Karena saat itu, tak ada lagi denting-denting merdu yang terdengar. Dia jatuh dalam ratapan, seperti jerami yang diterbangkan badai. Ingin melepaskan diri dari pelukan kesesakan.
Sayap dari langit malam perempuan itu patah, dinaungi alam kelam pekat. Kekecewaan dan kegetiran ada bersamanya. Denting kematian seakan memenuhi hati perempuan itu, jiwanya terlalu rapuh terhadap realita yang harus dia jalani. Tentang kesendirian, ketidakadilan, ketidakpenerimaan dan keraguan yang menyakitkan.
Kerumpangan pun menghancurkan keteguhan hatinya. Bukankah kesendirian tidak mengukur sebuah kebahagiaan. Namun, perempuan itu membiarkan dirinya termakan kesendirian yang berujung pada kesepian. Memilu dan hatinya menangis, kenapa dia sulit untuk menerima kenyataan hidup yang dia miliki.
Dia melahirkan kelesah untuk dirinya sendiri. Denting kematian seakan berbisik pada dirinya, karena dia yang membuat itu ada dalam dirinya. Entah berapa lama, perempuan itu akan bergelayut pada ketakutan. Perempuan itu sering terjaga dan bercengkrama dengan malam yang penuh kemalangan. Kesegaran tak lagi merambati jiwanya. Sebenarnya dia terasa kosong, kehilangan kebahagiaan yang berlimpah.
Dia sudah tersesat dalam gemuruh yang menghadirkan denting kematian. Ada sebuah kesedihan yang melayu dalam jiwanya. Perempuan itu membiarkan dirinya berpura-pura tuli dan berpura-pura buta terhadap keadaan hidupnya.
Dari mana datangnya, suara denting kematian itu? Perempuan itu sebenarnya ingin keluar dari denting kematian itu, namun dia masih gagal hingga hari ini.
***
Rantauprapat, 28 Oktober 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI