Sumatera, pada sebuah malam aku menitipkan banyak rahasia. Pada dini hari pukul satu, aku menjadi saksi sebuah kedzoliman.
Itu semua terjadi karena tak ada cinta dalam diri. Aku bisa menjadi korban, tersangka, dan terdakwa dalam sebuah kasus yang sengaja kuciptakan. Terbuai dalam alunan hasrat. Hingga dengan sesuka dan semena-mena menyimpan rahasia di jiwaku.
Pernah pada dini hari pukul satu, malamku tak lagi terasa indah. Dengan angkuhnya aku melupakan keharusan, pergi berlayar pada berahi dan mencicipi dosa. Berkeliaran dalam kebodohan kemudian terlelap bersama airmata ratapan. Â
Pada dini hari pukul satu, aku sering tak menjernihkan hatiku. Mengabaikan rambu peringatan yang terdengar jelas memekik di hatiku. Hingga langit malamku menjadi rumit, karena aku tak mampu mengerti diri sendiri. Layu oleh angin Timur, dan tak mekar saat angin Barat berhembus kencang ke arahku.
Akhirnya aku dilucuti luka, tenggelam di gulungan keangkuhan diri. Pada dini hari pukul satu, aku sering membiarkan diriku menjadi pembangkang yang liar. Kehambaran yang mengangga memahkotai kepalaku, arakan bunga Anyelir dan Melati tak lagi mengendap di nalarku.
Aku bermain dengan hujan, berjalan di jalan yang tak biasa. Pada dini hari pukul satu, akulah seseorang yang payah. Seseorang yang sering jatuh pada ratapan yang seharusnya tidak kurasakan.
Lantas, akankah aku kembali menjadi seseorang yang payah di saat dini hari pukul satu? Entahlah. Kuharap tidak demikian.
***
Rantauprapat, 27 Oktober 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H