Pernahkah kau ditusuk tangan ketakutan? Tenggelam oleh kesendirian. Kejamnya hidup dan ketidakadilan sudah melekat pada dirimu.
Itu yang sering terjadi padaku, takut akan kesendirian. Pada suatu titik, ketika cinta menawarkan lagi rasanya, itu adalah sebuah harapan indah. Karena aku pernah menyia- nyiakan cinta yang sudah hadir.
Dalam  belantara huruf-huruf kehidupan, aku tahu bahwa kehadiran dan perpisahan adalah dua sisi yang saling berdampingan. Namun yang terjadi padaku, keraguan yang berarus deras telah menghunusku. Buatku layu oleh angin Timur. Mengalami ratapan yang seharusnya tidak kurasakan.
Di kesendirianku, tak ada yang kebetulan. Bukankah sewaktu-waktu aku bisa pergi dari semesta. Aku bisa mati di pekuburan sepi. Bersamaan dengan datangnya malam sunyi, keinginan untuk meninggal lebih dulu mengelayutberati jiwaku.
Bukankah hidup butuh waktu, terkadang aku lelah menjalani waktu. Aneh bukan, Â seakan aku punah. Punah!
Ini yang menjadi keinginanku, meninggal lebih dulu. Karena aku lebih baik mati dan tak merasakan takut, sebab ditinggalkan tanpa sandaran. Lebih baik aku tak ada, dari pada hidup pun tak memiliki apa-apa.
Aku sangat ingin keluar dari ketakutan ini. Aku perempuan payah yang rapuh. Akankah aku akan berada di ruang pemahaman dan mendapatkan dekapan yang benar hingga aku berada di tempat yang terang.
Lelah memeras waktu, lelah pada penantian. Lelah dengan ketidakpastian dan ketidakpenerimaan. Lelah dengan keinginan yang keliru, keinginan untuk meninggal lebih dulu.
Apakah mampu sebuah keinginan menjadi sebuah kenyataan? Tentu saja ini menunjukkan ketidakpastian, ketidakpastian yang sempurna.
***
Rantauprapat, Oktober 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H