Kujatuh, jatuh pada pesonamu. Kamu itu seperti doa yang memikat. Kita berdua tahu benar, bahwa kamu itu ada di ranting hatiku. Kepada kamu, segala raguku pernah lesap. Kamu meninggalkan rindu yang kecamuk dan buat hatiku pelik. Rindu ini gairah cinta yang menyakitkan. Bagaimana cara kusimpan rindu di hatiku.
Kamu yang memupuk tunas-tunas cinta, dan aku pun bersedia merawatnya. Hingga akhirnya, aku memanen buah rindu yang menyakitkan. Ini duka rindu. Di antara bercangkir-cangkir puisi yang kutulis, kamu selalu mengelayutberati hatiku. Perihal kita yang jauh, tiada yang benar tahu akan seperti apa nantinya. Kita akan menjadi pengelana menuju titik atau tidak. Karena ini rindu, aku akan tetap menanti kamu lebih lama. Agar bisa melihat kamu dan menikmati sinar bulan bersama.
Kuduga kamu selalu lalu-lalang dan menyambangi kepala malamku, buat malamku seakan lambat berlalu. Kamu itu adalah duka rindu yang menyala dan bersinar di lintasan waktuku. Ini rindu yang mematikan. Sepertinya, hanya aku yang mencintai duka rindu yang menyakitkan ini. Aku membiarkan rindu ini meraja diriku. Berharap kamu akan datang, karena sebenarnya kamu tak pernah pergi dariku.
Aku mencarimu di antara rindu yang menyelinap. Ternyata aku tak menjumpai kamu. Rindu adalah rindu, rasa terjauh yang bisa kurasakan. Â Walau aku tahu bahwa ini menyakitkan, aku sudah terlanjur membiarkan rindu ini meraja diriku dan menjadi duka rindu yang menyala.
Perjalanan yang akan merentanggambarkan garis rindu ini, apakah duka rinduku dapat menyetuh hatimu atau tidak?. Aku tidak tahu, apakah duka rindu akan menyambangi hatimu. Ah ya, ini hanya harapan yang kusemaikan.
Ini duka rindu yang menyakitkan memang.
***
Rantauprapat, 24 Oktober 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H