Aku seorang perempuan melankolis yang bersyukur bisa bercengkrama denganmu. Ada kesadaran hati yang pernah kuterima darimu.
Entah kenapa, belakangan kamu membuatku tidak nyaman. Buatku tenggelam dalam kesunyian. Aku ingin berbagi denganmu terhadap hal yang mengusik perasaanku. Namun, aku mendapati keengananmu merespon hal yang kubagikan.
Seketika, senyum di sketsa wajahku terputus. Tanpa kata-kata, aku merasa menyesal telah berbagi rasa yang mengusik perasaanku. Sambil bergumam seorang diri, aku merasa menyesal padamu. Menyesal telah mengganggumu.
Kamu pria yang telah membuatku merasa bersalah, bukan karena apa. Tapi aku merasa bersalah pada diriku sendiri, mengapa memberi waktuku pada kesia-siaan. Seolah kamu memandang sebelah mata pada apa yang kusampaikan.
Aku tak akan menyalahkanmu, itu haknya kamu. Dan hakku juga untuk tak lagi bercoleteh padamu, aku memutuskan menyembunyikan diri dari hal-hal yang sebenarnya ingin kuceritakan padamu.
Aku terdiam dan terhenti di halaman logikaku, untuk tidak lagi memasuki daerahmu tanpa izin. Aku melakukan itu, agar ranting-ranting hatiku tak lesap dari petikan yang bernama bahagia.
***
Rantauprapat, 19 Oktober 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H