Perempuan itu pernah seperti pohon Anggur yang riap tumbuhnya. Menghasilkan buah yang baik lagi banyak. Namun, Di semestanya yang luas, dia tergoda oleh angin Timur. Â Meruntuhkan dan menghancurkan buahnya yang baik tadi. Mempersembahkan malamnya pada estafet yang penuh kepalsuan dan rahasia-rahasia.
Dia seperti sepotong ranting kering yang terapung di air. Semak dan rumput duri sudah tumbuh  di antara kerumunan aktivitasnya. Perempuan itu sudah menanggung malu untuk dirinya sendiri, dan meratap karenanya.
Perempuan itu sudah membajak kebodohan. Menyusup lincah hanya untuk merasakan malam yang bisa memberikan kenyamanan semu, menghujani hari-hari yang dia lalui dengan hal-hal yang unfaedah. Â Merona terhadap pemikat yang sesungguhnya adalah kesalahan. Dia telah menuai kesalahannya dan memakan buah kebohongan yang dilakukannya.
Sekarang, keriuhan bak perang timbul di dalam hati dan pikiran perempuan itu. Perempuan itu menyesal atas segala kompromi dahsyat  yang sudah dia lakukan. Memberikan duka hati yang tiada henti.
Namun, perempuan itu memiliki alasan untuk melakukan kebodohan itu. Dia pernah mendapatkan kegembiraan melalui kebodohan itu, walau hanya kegembiraan sesaat.
Kini, perempuan itu tidak lagi menjadi pohon Anggur yang riap tumbuhnya. Apakah dia akan selalu terjerembab dalam hal ini? Entahlah
*Riap = bertambah besar
***
Rantauprapat, 13 Oktober 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H