Seperti yang aku baca melalui aksara-aksara yang dia rangkai, bisa kusimpulkan dia pria yang mencintai arkeologi. Membuat hal-hal yang berbau arkeologi menjadi bintang perburuan. Dia tak pernah terpaksa menyerahkan waktu, daya, dan pemikirannya kepada aktivitas arkeologi.
Baginya, arkeologi bukan kandungan mandul yang harus terabaikan. Tinggalan-tinggalan arkeologi adalah cagar budaya yang memiliki beragam makna.
Di periode sejarah hidup yang dilalui pria itu, aku tidak tahu pasti, entah sejak kapan dia sudah memutuskan menjadi tenaga yang memperhatikan sejarah dan keberlanjutan hidup dari arkeologi yang tertinggal. Mendokumentasikannya untuk menjadi sejarah di perjalanan hidupnya.
Bicara arkeologi adalah bicara tentang perjalanan yang sudah memberikan masa indah untuk dirinya. Karena baginya, arkeologi bukan hanya mengenai remeh temeh benda yang dibuat manusia masa lampau. Namun arkeologi juga mengenai membangun Keindonesiaan melalui budaya.
Rumput dan onak tidak akan pernah tumbuh pun menutupi barang-barang arkeologi yang dia temukan, karena arkeologi itu berharga baginya. Dan dia pria yang akan bersorak-sorak lagi bersukacita bersama arkeologi.
Menurutku, dia pria yang memiliki pemahaman yang luas mengenai arkeologi, karena dia pria yang sudah jatuh cinta pada dunia arkeologi. Dia akan memaksa dirinya untuk terus belajar dan tidak layu oleh angin Timur perihal arkeologi.
Walau arkeologi merupakan budaya masa lampau namun baginya hal itu tetap memiliki nilai yang memperkaya ilmu pengetahuan. Dia adalah pria dewasa asal Sulawesi yang berperawakan tinggi dan bernama Wuri Handoko. Pria yang kukenal melalui literasi.
***
Rantauprapat, 12 Oktober 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H