Kegilaan dan nafsu jahat bersemayam di nalar hati pria itu. Lumpur maksiat menjadi penghuni di ruang hasratnya. Entah karena apa, pria dewasa yang berperawakan tinggi itu sudah meninggalkan kesadaran hati.
Pria itu sudah menyeret aroma luka dan renjana yang menghantuinya pada perempuan itu, perempuan yang seharusnya dilindungi.
Pria dewasa itu seperti burung yang terbebas dari sangkar. Bebas untuk melakukan apa saja, memberikan noda dan guyuran air hujan pada perempuan itu. Menjajah setiap bentuk tubuh dan menanam benih kotor pada mahkota perempuan itu.
Perempuan itu hanya mampu memejamkan mata dan menahan rasa sakit yang akan menjadi sejarah terburuk di semesta hidupnya. Dia sudah tersayat oleh duka pun mengalami masa-masa yang kejam.
Perempuan itu menangis, menyesali dan meratapi hidupnya. Bayangan dosa sudah melekat pada tubuhnya, seumur hidupnya dia sudah tidak murni. Perempuan itu telah mengalami trauma psikis. Dan selalu membasahi halaman-halaman di bab buku kehidupannya dengan nestapa.
Trauma psikis yang perempuan itu rasakan sudah membakar hatinya. Lusinan kericuhan menghiasi waktu yang dilaluinya. Dia sering tertidur dalam sedu. Musim hidupnya telah menjadi ranting yang kering.
Dan dia telah memilih hanya berkekasih dengan kesendirian. Perempuan itu tak ingin menerbitkan kesedihan besar pada semesta orang lain, karena perempuan itu sudah membenci setiap hal yang ada di semestanya sendiri. Pria itu sudah menabur angin di dalam hidupnya, dia pun menjadi perempuan yang payah, karena dia sendiri yang sudah menuai puting beliung akibat pria itu.
***
Rantauprapat, 11 Oktober 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H