Mohon tunggu...
Lusy Mariana Pasaribu
Lusy Mariana Pasaribu Mohon Tunggu... Dosen - Ada beberapa hal yang dapat tersampaikan tentang apa yang dirasa dan dipikirkan

Memerdekakan hati sendiri itu penting!

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Di Balik Amarah yang Kesepian

28 September 2020   21:00 Diperbarui: 28 September 2020   21:01 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepi di tubuh waktunya. Baik itu di kaki pagi atau di kepala malam yang dia miliki. Di kesepiannya, dia terkadang tidak bisa mengendalikan diri dan perasaan. Pernah dia terjebak pada rasa yang membuai dirinya.

Dia dan matanya tak lagi bening. Tiang semestanya rapuh. Kembali bermain hujan dan menegak ratapan atas nama cinta. Berlaksa patron yang salah membungkus hatinya. Entah sampai kapan dia membiarkan kakinya melangkah, menembus malam dengan keliaran dan bergelimang lumpur yang sesat.

Semua hanya alasan. Dia sudah tertekan dalam keadaan sepi. Di balik amarah yang kesepian, dia membiarkan dirinya terjebak dalam hasrat berahi. Gelegar nafasnya seperti cerita kotor. Dia tidak mencukupi diri dengan kebenaran. Mengguyur diri dengan suasana luka.

Sumatera, September 2020 dia lagi-lagi jatuh dalam api tangis yang dahsyat. Kebebasan dan kemerdekaan yang dia peroleh, dia isi dengan baris iklan yang unfaedah. Membiarkan matanya buta dan telinganya tuli, demi merangkak dan bisa tertawa saat mencium hasrat yang berbahaya.

Walau dirinya tahu, akan ada debu yang melekat dalam dirinya. Terkadang tanpa kaku, dia menikmati variabel yang menggoda hatinya. Air hujan yang dia akrabi, jadi saksi bisu atas debu yang melekat dalam dirinya.

Ketika nalar menghampiri, dia sebenarnya murka pada dirinya sendiri. Terus dan terus dia mempersalahkan diri. Bertanya, ke mana dirinya yang pernah terdampar di buritan akal sehat yang benar.

Dia berharap bisa menemukan dan menggapai pelita cahaya pada hatinya yang seringkali bermuram durja. Ingin menjadi seseorang yang tidak lagi menabur dan memanen sorat kegelapan di dalam usia yang masih dia punya.

Mungkin dia ditakdirkan tidak bahagia.
Mungkin juga tidak, jika dia mau berbalik arah dari virus yang telah membuat dia terikat. Itu pun jika dia masih memiliki kesempatan untuk berbalik.

***
Rantauprapat, 28 September 2020
Lusy Mariana Pasaribu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun