Malam ini aku menangis, menyadari dengan sungguh, bahwa ternyata kamu memang bukan jawaban doaku.
Sebelum ini, kita saling bertengkar dan menjadi asing, aku pernah berpikir kalau kamu mungkin bukan jawaban doaku. Saat itu, aku masih menguji doaku. Berharap masih ada celah untuk kita tetap bersama.
Namun malam ini, tidak ada lagi celah dan kemungkinan itu. Aku hanya bisa menangis, pipiku dijatuhi air mata, dan menyekanya seorang diri. Sesekali isakanku terhenti dan mereda, saat itu tanganku yang kehilangan kekuatan untuk menulis berusaha menuliskan rasa ke dalam puisi yang sedang kutulis ini.
Cinta yang kubiarkan tumbuh subur di hatiku, apakah tidak lagi mencintai aku?. Itu berkali-kali kutanyakan, pada diriku sendiri. Tadinya aku berharap, menemukan cinta yang sungguh di pelita hatimu. Tapi hari ini, aku merasakan duka kedua kalinya tentang perpisahan cinta. Pernah bulan Maret di tahun 2015 menjadi bulan yang menghitam untuk perasaannku. Kini bukan hanya Maret, tapi juga September 2020 menjadi bulan yang menghitam dan jadi saksi perayaan perpisahan cintaku.
Malam ini adalah malam yang menawarkan kesedihan di dalam lembar ingatanku. Tak ada yang menyenangkan malam ini, perpisahan ini melukai hatiku. Tentang cinta, doa, dan harapanku terhadapmu, ternyata jawabannya adalah TIDAK. Sulit untuk menerima, tapi mau tidak mau, aku harus menerima itu.
Ternyata, kamu memang bukan jawaban doaku.
Setelah malam ini, semua tentangmu pasti berubah. Dan aku harus membiasakan diri untuk itu. Aku tidak akan membiarkan perihalmu, memutari isi hati dan kepalaku. Yang kulakukan adalah, secepatnya membuat ranting hatiku beranjak dari harapan yang pernah kudoakan terhadap dirimu. Cinta yang pernah kupilih.
***
Rantauprapat, 24 September 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H