Di bulan September pada hari yang kesembilan belas, melalui jalur pribadi aku bercengkerama dengan seorang pria yang Tuhan kirimkan. Pria yang sebelumya kukenal karena dunia tulis menulis, pria yang juga sudah memiliki kekasih.
Pria Timur yang baru saja menyelesaikan ujian meja hijau Strata- 2 nya . Aku pun hanya bersua dengan pria itu melalui jaringan dan dunia maya. Yang kemungkinan besar tidak akan pernah bersua secara langsung.
Beberapa hari aku sudah mengobrol santai dengan pria itu, terkadang sampai melantur pada pembicaraan yang unfaedah. Saling memanggil sayang, yang kami tahu tidak ada rasa sayang di antara kami. Walau aku sedikit terbawa perasaan, mungkin karena aku sedang dalam fase kesendirian.
Di antara pembicaraan kami, selalu terselip kata "BUKU". Karena di halaman hidup pria itu, dia selalu sibuk bermain dengan buku.
Buku, aku hanya melihat buku yang dia baca di obrolan kami. Pria itu sudah seperti kegilaan membaca buku, hingga pria itu mengabaikan porsi tidur yang cukup. Mengesalkan bagiku, Â pria itu sudah membiasakan diri terhadap hal itu. Karena itu adalah kebiasaan yang buruk menurutku.
Pria itu bisa tidak memejamkan mata untuk membaca buku. Ada kenikmatan yang berasal dari buku, kenikmatan yang besar, seperti berada dalam semenanjung kebahagiaan. Tulang punggung pria itu tak pernah patah untuk menghabiskan waktu bersama buku.
Menurutku, halaman demi halaman buku yang dia baca tidak kalah penting dari perasaan cinta dan rindu yang dimilikinya untuk kekasih yang dia inginkan sebagai teman untuk menua bersama.
Mungkin, saat pria itu sudah menikah dengan kekasih hati yang dia cintai dan kami tak lagi berkomunikasi, pria itu akan rela tersesat dalam hutan lebat yang bernama buku. Mungkin juga tidak, karena pria itu sudah memiliki pemanis yang tidak boleh diabaikan.
***
Rantauprapat, 21 September 2020
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H