[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Sejumlah guru honorer yang tergabung dalam Federasi Guru Honorer (FGH) Jawa Barat menggelar aksi di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, memprotes upah mereka yang masih di bawah standar kelayakan, Rabu (18/5/2011). (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)"][/caption]
Sejak UU 2005 tentang Guru diterbitkan, guru masuk dalam kategori profesi, seperti halnya dokter, pengacara, pilot, insinyur, dan profesi lainnya. Bila sebelum adanya UU 2005, seorang lulusan pendidikan guru dapat langsung menjadi guru. Namun dengan adanya UU tersebut seseorang harus memiliki sertifikasi guru untuk bisa menjadi guru.
Sayangnya UU di atas tidak mengubah pandangan masyarakat tentang guru. Bahkan saat ini minat anak muda menjadi guru semakin menurun. Saat ini pilihan profesi begitu luas dan variatif, sehingga pilihan menjadi guru sering menjadi pilihan terakhir.
Mengapa? Berbagai alasan klise - yang benar adanya - bermunculan, gaji guru kecil, guru tidak punya jenjang karier dan masa depan guru dianggap suram. Bila ada seorang guru yang mengendarai mobil baru atau liburan ke luar negeri, orang akan bertanya-tanya apa benar dia seorang guru? Beberapa praduga kemudian muncul, “Pasti dia anak orang kaya, pasti suaminya kaya, pasti dia punya bisnis sampingan, dll.”. Karena tidak ada cerita tentang guru sukses (secara finansial).
Kesuksesan seorang guru diukur dari kesuksesan murid yang diajarnya. Bila ada muridnya yang menjadi pengusaha besar, politisi ternama, artis terkenal, maka guru yang pernah mengajar atau menginspirasi mereka disebut-sebut sebagai penyumbang kesuksesan mereka saat ini. Pun banyak cerita mengenai siswa yang dicap tidak mampu di sekolah, ataupun ternakal di sekolah, kemudian tumbuh menjadi orang yang terkenal berkat jasa guru yang menginspirasi mereka. Itulah gambaran guru sukses.
Namun tidak ada cerita guru yang kaya. Atau guru yang pengusaha. Ataupun guru yang terkenal. Guru hanya terkenal di kalangan murid-muridnya. Bukan skala nasional, apalagi go internasional. Itulah gambaran tentang guru. Pahlawan tanpa tanda jasa. Banyak guru yang hidupnya berakhir di panti jompo, yang hanya mendapatkan belas kasihan dari mantan murid-muridnya ketika harus dirawat di Rumah Sakit karena stroke atau jantung ataupun penyakit degeneratif lainnya.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang makin meningkat, tidak sedikit juga saya temui guru-guru yang memiliki bisnis sampingan di luar profesinya, seperti berjualan kosmetik, alat rumah tangga, makanan, baju dan lainnya. Yang tidak terlalu berbakat jualan, mereka memberikan les untuk murid-murid di luar jam sekolah. Kata seorang guru senior yang saat ini sudah pensiun ketika diminta pendapatnya tentang guru, “Beruntung bagi para guru yang mengampu mata pelajaran yang dapat digunakan untuk memberikan les (seperti Matematika, Fisika, Kimia), dan bagi guru yang mengampu mata pelajaran sosial (seperti Sejarah, Kewarganegaraan, Sosiologi, dan sejenisnya) harus pandai-pandai mencari bisnis sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kami memang bangga menjadi guru, melihat anak murid sukses, menerima ribuan terima kasih dari para murid kami, tapi toh setiap hari kami juga harus menghidupi anak dan istri. Kami juga ingin memberikan mereka liburan yang menyenangkan, kadang-kadang makan di restoran, yang bukan kami dapatkan dari pemberian orang lain….”
Pernyataan itu ironis di telinga saya, karena guru disebut sebagai pembelajar sejati, berarti harusnya pintar sekali karena tidak pernah berhenti belajar, namun akhir hidupnya lebih nelangsa daripada karyawan bank yang tidak lagi belajar untuk meningkatkan kemampuan.
Karena juga guru adalah orang pertama yang seringkali dikambinghitamkan ketika banyak penjahat di negeri ini. Kesalahan sistem pendidikan. Kesalahan pengajaran. Guru tidak pernah mengajarkan akhlak, hanya akademis. Dan tudingan-tudingan lainnya. Karena juga guru adalah orang yang paling bertanggung jawab atas hasil generasi masa depan. Seperti apa orang-orang yang akan mengisi pembangungan negeri ini, dapat dilihat dari guru-guru yang mengajar saat ini. Namun sepertinya guru tidak berhak menjadi kaya. Dengan tanggung jawab yang sebesar itu, dikombinasikan dengan masa depan yang suram, siapa yang mau menjadi guru?
Dari hasil sebuah statistik di Jawa Tengah, terdapat 48.000 lulusan pendidikan guru. Namun di ibu kota Jawa Tengah, sekolah-sekolah baik swasta favorit maupun negeri, kesulitan mencari guru. Sekolah dengan modal lebih, akan rela mendapatkan guru dengan kompetensi rata-rata atau terkadang jauh di bawah harapan, namun kemudian dibekali pendidikan lebih sehubungan dengan pengajaran. Padahal bila kita lihat kembali hanya ada “segelintir” sekolah bermodal lebih dalam satu kota.
Menurut sudut pandang saya sebagai seorang guru, sebenarnya guru punya potensi lebih untuk menjadi kaya. Setidaknya untuk menjamin hidup masa depannya sendiri tanpa harus menggantungkan belas kasihan dari mantan murid-muridnya. Guru punya potensi untuk mandiri secara finansial.
Pertama, seorang guru punya potensi menjadi seorang pemimpin. Guru sudah terbiasa memimpin anak-anak muridnya untuk melakukan kegiatan ini dan itu. Namun potensi guru tidak pernah tergali lebih untuk menjadi pemimpin di luar murid-muridnya.
Argumen yang biasa didengar adalah mengapa perlu menjadi pemimpin? Toh karier guru paling bagus hanya menjadi seorang kepala sekolah. Padahal kepala sekolah itu hanya ada satu di antara berapa puluh guru yang ada. Belum lagi bila sekolah dikelola oleh yayasan, kadangkala kepala sekolah diambil dari orang di luar guru yang mengajar di sekolah tersebut.
Di luar kepala sekolah, sebenarnya potensi kepemimpinan seorang guru dapat digunakan untuk menggelar seminar-seminar pendidikan ataupun menjadi pembicara di seminar pendidikan. Guru dapat menggelar eksebisi alat peraga. Guru dapat memimpin sebuah kelompok riset/projek di mana hasil riset/projek dapat dipublikasikan atau dijual. Kegiatan ini sangat mungkin dijajaki, mengingat saat ini dana riset hanya diberikan pada dosen, dan hanya mereka saat ini yang “berhak” melakukan riset. Dalam hal ini, guru adalah orang yang paling tepat mengadakan hal-hal tersebut dan guru adalah orang yang paling layak mendapat keuntungan dari acara-acara semacam itu. Bukan orang-orang yang hanya mengenal teori pendidikan tapi tidak mengalami dunia pendidikan di lapangan.
Kedua, seorang guru memiliki potensi menjadi penulis buku. Guru adalah orang di mana profesinya mengharuskan dia membaca. Membaca bukan hobi seorang guru, namun membaca adalah salah satu tugas seorang guru. Bila guru terus membaca, maka dia akan mampu menulis. Guru adalah orang yang paling tepat menghasilkan buku materi pelajaran, buku cerita anak ataupun buku pendidikan karakter. Karena guru adalah orang yang langsung berhubungan dengan para end-user dari buku-buku yang temanya demikian. Oleh sebab itu pula guru adalah orang yang paling layak untuk mendapat keuntungan dari penerbitan buku-buku bidang itu.
Namun sayang, banyak guru yang:
1. Tidak menyadari potensi yang dimilikinya.
2. Merasa cukup puas dengan menginspirasi murid-murid di kelasnya saja.
Menurut saya, menjadi guru, tidak cukup hanya menginspirasi murid-murid satu kelas atau berpuluh-puluh kelas selama kekuatan fisik mampu menopang. Menjadi guru dapat menginspirasi bahkan setelah guru tersebut tiada.
3. Merasa sudah terlalu lelah menyiapkan materi ajar dan memberikan penilaian di buku rapor murid-muridnya.
Padahal menurut saya, asalkan guru mampu mengatur waktunya dengan baik, maka seorang guru mampu untuk tetap menjaga idealismenya sebagai guru dengan dedikasi penuh pada muridnya dan mendapatkan penghasilan tambahan dari profesi yang sama. Bonusnya adalah apa yang dilakukan untuk mendapatkan penghasilan tambahan tersebut dapat meningkatkan skill-nya sebagai guru di kelas. Jelas si guru akan mendapatkan keuntungan ganda, yaitu skill sebagai gurunya meningkat, otomatis siswa yang diampunya juga akan mendapatkan pengetahuan lebih, dan guru juga mendapat pendapatan lebih. Soal lelah, menurut saya, akan sama lelahnya bila guru pulang dari sekolah pukul 4 sore dan masih harus datang ke rumah muridnya untuk memberikan les sampai dengan jam 9 malam setiap hari. Dan akan lebih lelah lagi, bila guru harus berjualan alat kebutuhan rumah tangga atau mengikuti seminar MLM sepulang sekolah (terlebih bila hal itu bukan skill yang dikuasainya).
4. Merasa tabu memiliki keinginan menjadi kaya dari profesi yang digelutinya.
Meskipun bila diberikan survei nyaris semua guru ingin menjadi kaya dan tidak ingin memiliki masa depan yang suram. Banyak guru yang percaya bahwa mereka tidak mungkin mengharapkan sekolah memberikan salary tinggi kepada mereka, terlebih bagi para guru swasta. Di sekolah swasta, menaikkan gaji guru berarti menaikkan uang sekolah siswa. Bila guru bekerja di sekolah di mana satu orang murid membayar sekian juta per bulan, mereka boleh berharap. Namun tidak bagi guru yang bekerja di sekolah swasta biasa.
5. Tidak percaya bahwa profesi seorang guru layak diperhitungkan dari sisi finansial.
Saya yakin bila pola pikir guru berubah, mampu berpikir kreatif, tidak terjebak dalam stigma guru sabagai “profesi tanpa tanda jasa” dan berdemo hanya soal gaji, maka profesi guru akan menjadi profesi yang diperhitungkan dan… sistem pendidikan pun akan berubah. Guru yang kreatif akan menghasilkan siswa yang kreatif. Demikian pula guru yang “entrepreneur” akan menghasilkan siswa yang berjiwa “enterprenur” juga.
Selamat menjadi guru.
Lusy Sutedjo, Spd
referensi: http://teacherpreneurship.edublogs.org/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H