Sebagai mahasiswa perantauan, aku sering kali merasa cemas dengan keadaan keuanganku. Kiriman uang jajan dari ibu selalu terbatas, dan setiap bulan aku harus mengelola dana itu dengan sangat hati-hati, karena sebagian besar digunakan untuk biaya kost. Namun, ada suatu bulan di mana pengeluaranku sangat banyak, dan aku tidak bisa menyisihkan uang untuk membayar kost. Aku merasa bingung, cemas, dan takut jika keadaan ini diketahui oleh ibuku. Aku khawatir beliau akan marah atau sedih, apalagi mengingat kondisi ekonomi keluarga yang kini tak sebaik dulu.
Perasaan takut itu terus menggangguku, dan aku merasa harus segera mengungkapkan hal ini kepada ibu. Meskipun aku tahu akan sulit, aku memberanikan diri untuk bercerita. Aku takut reaksinya, tetapi aku tidak bisa terus-menerus memendam kekhawatiranku. Saat akhirnya aku mengungkapkan semuanya dengan perasaan penuh kecemasan, jawaban ibu begitu mengejutkanku. Dengan tenang, beliau berkata, "Tidak apa-apa, Nak, yang penting uang itu cukup untuk makan kamu di sana."
Kata-kata ibu itu membuat perasaan takutku berubah menjadi rasa lega dan kebahagiaan yang luar biasa. Aku sadar, bahwa meskipun kami dalam keterbatasan, ibu selalu memikirkan kebutuhanku yang paling mendasar yaitu makan. Sederhana, tapi penuh makna. Kalimat itu mengingatkanku bahwa kebahagiaan sejati bukan datang dari hal-hal besar, melainkan dari pengorbanan dan kasih sayang yang tulus.
Dari situ, aku belajar bahwa ketakutan tidak selalu berakhir dengan hal yang buruk. Ketakutan yang ku rasakan karena situasi ekonomi dan perasaan khawatir akan reaksi ibu, akhirnya berubah menjadi kebahagiaan karena ibu mengajarkan tentang pentingnya memahami hal-hal yang lebih esensial dalam hidup. Satu kalimat dari ibu mengubah perasaanku, mengingatkan bahwa cinta dan perhatian bisa datang dengan cara yang paling sederhana.
Pelajaran terbesar yang bisa diambil dari pengalaman ini adalah bahwa dalam hidup kita sering kali dibayangi oleh rasa takut, takut akan kegagalan, takut akan reaksi orang lain, atau bahkan takut untuk menghadapi kenyataan. Namun, ketika kita berani menghadapinya dan berbicara jujur, kita sering kali menemukan bahwa ketakutan itu tidak seburuk yang kita bayangkan. Seperti halnya ibuku yang menunjukkan bahwa rasa kasih sayang dan perhatian tidak selalu harus berupa solusi besar atau material, tapi cukup dengan kata-kata yang tulus dan pengertian.
Ketakutan yang menguasai kita sering kali hanya ada dalam pikiran kita sendiri, dan begitu kita melangkah untuk menghadapinya, kita bisa merasakan kebahagiaan yang sebenarnya yaitu kebahagiaan karena bisa berbagi dan dipahami, bahkan dalam keterbatasan. Oleh karena itu, penting untuk tidak terjebak dalam rasa takut yang berlarut-larut, karena kenyataan sering kali lebih mudah dihadapi daripada yang kita pikirkan. Berani menghadapi ketakutan dan berbicara dengan jujur dapat membuka jalan bagi pemahaman dan pengertian yang lebih mend
alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H