Potret kehidupan muslim Indonesia seolah layaknya sebuah parodi yang layak menjadi hiburan malam dalam layar kaca. Fenomena Haji Muhidin itu memang nyata ada dalam masyarakat. Apakah kita lantas terbahak menjalaninya? Nyatanya kelucuan dalam sinetron itu menjadi sebuah kelumrahan dalam kehidupan nyata. Biarlah sejenak kita tersenyum kecut melihat keadaan Ummat Islam yang terus saja terbelakang untuk banyak urusan, bukan berarti tak ada yang di depan, tapi kita sedang mencoba melihat lebih jujur, Indonesia tumbuh menjadi negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, tapi tengok pula berapa angka penganggurannya? Bagaimana masyarakat miskinnya? Atau ada berapa anak yatim yang terlantar di negeri ini?
Sungguh ironis bila kita menjadikan haji setiap tahun adalah sebuah ritual yang kita gadang-gadang sebagai amalan unggulan yang akan membawa kita ke surga. Faktanya Rosulullah hanya melaksanakan haji sekali seumur hidupnya. Apakah lantas kita yang haji berkali-kali lebih mulia dari Rosulullah?
Jaman memang telah begitu jauh dari saat Rosulullah menjejak di bumi, tapi bukankah saat berhaji itu kita saksikan makam beliau? Apakah tidak membuat kita malu? Betapa kesombongan telah merenggut rasa malu dari diri kita, menjadikan kita bodoh dan semakin bodoh. Bila kita hendak berkaca pada sebaik-baik teladan, maka tak sehelai benang pun yang bisa menutupi betapa jauhnya Islam kita dengan Islamnya Nabi dan para sahabat. Tengok apakah agama kita ini lebih banyak mendidik kita untuk menjadi insan individual, atau justru sebaliknya? Kita dididik dalam nuansa sosial?
Ibadah individual memang tak jarang membuat kita merasakan nikmat, seolah menjelma menjadi sufi yang tak doyan dunia, lalu asik masyuk dengan dzikir hingga lupa ada segudang PR kemanusiaan yang terus bertambah setiap harinya. Haji, adalah ibadah individual. Namun, menolong yatim yang kelaparan, itu adalah ibadah sosial. Membangun sekolah untuk fakir miskin, itu juga merupakan ibadah sosial, dan berbagai ibadah sosial lain yang manfaatnya jauh lebih besar ketimbang asik masyuknya kita berlinang air mata di depan Ka’bah.
Apakah lantas tidak perlu berhaji? Tentu saja itu bukan pilihan bijak. Pilihan terbaik adalah menunaikan ibadah haji yang berkualitas, dan membuktikan kualitas haji kita, kualitas individu kita dengan menjadi sebaik-baik manusia, yaitu yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Laksanakan haji, tak perlu berkali-kali hingga menjadi semacam parodi, tapi berikutnya jadikan predikat haji itu menjadikan kita hamba yang lebih baik di mata Allah.
Ribuan ibadah sosial menanti kita, tunggu apa lagi, siapkan kualitas individu yang mumpuni, lalu bertebaran di muka bumi. Menjadi kaya raya untuk membuat orang lain lebih kaya. Bismillah!
sumber ruharamain
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H