Seharian berjibaku dengan buku-buku di Perpustakaan Nasional benar-benar melelah raga. Begitu keluar dari halaman perpustakaan nampak olehku keramaian di seberang jalan, di halaman Monumen Nasional (Monas). Saya pun memutuskan menyeberang jalan dan menelusuri keramaian itu. Ah, lumayan ada lah buat melepas kepenatan. Begitu pikirku sambil terus melewati pagar parkiran luar dan masuk ke halaman monument nasional yang aku sendiri yakini menyimpan banyak cerita perjuangan bangsaku ini meraih kemerdekaannya.
Ternyata ada pasar rakyat. Pinggiran jalan dipenuhi dagangan warga seperti baju, sepatu, sandal, tas, jam tangan, mainan anak yang dijual murah. Ada juga sudut jalan yang penuh dengan dagangan kuliner. Di parkiran utara ada panggung besar untuk pentas seni dan hiburan dari kelompok seniman dan artis ibukota. Katanya grup band Kotak akan perform juga. Bocah-bocah ramaikan jalan dengan balap-balapan sepeda motor kecil dan mobil-mobilan yang dimodifikasi khusus ntuk mereka. Di atas area rerumputan tergelar tikar, disiapkan untuk orang duduk bersantai. Ooouw, ada juga yang berolahraga dengan lari-lari sore.
Sejuknya udara dan ramainya suasana  interaksi warga menarik hati saya untuk menghabiskan sisa sore di sini.  Luckily, saya mendapatkan tempat duduk dengan posisi yang strategis untuk menikmati sekeliling namun juga untuk memandang kokohnya Monas dari celah-celah pepohonan pinang yang daunnya agak malas melambai karena tidak banyak angin.
Satu yang terlintas di pikiran saya…. Sebagian warga Jakarta, paling tidak yang datang baik penjual ataupun pengunjung pesta rakyat di Monas ini seakan tak terpengaruh dengan apa yang sedang menimpa bangsa ini sejak dini hari tadi. Peristiwa terbunuhnya kedaulatan rakyat dengan ketukan palu pimpinan sidang paripurna DPR RI ternyata dianggap angin lalu oleh sebagian warganya. Setidaknya itu yang bisa saya simpulkan dari wawancara singkat saya dengan beberapa warga pengunjung.
[caption id="attachment_344597" align="aligncenter" width="300" caption="Kemegahannya...."][/caption]
Senja perlahan berlalu hingga malam pun datang. Saya masih belum beranjak dari kursi besi ini. Leher seksi Monas ditingkahi permainan lighting rupa-rupa warna semacam jingga, merah, kuning, biru dan hijau. Dia semakin cantik, makin nampak megah! Saya termenung memandanginya. Akankah dia tetap berdiri kokoh di sini selamanya? Berkaca pada perilaku politik para elit Partai Politik pendukung pemilihan kepala daerah oleh DPR, saya pikir mungkin satu waktu nanti Monas akan mereka robohkan. Sejarah bangsa mungkin saja mereka sobek-sobek. Nama negara ini, INDONESIA, mungkin saja dirubah semau mereka. Negara ini tinggal mereka obok-obok sekehendak nafsu politik mereka. Rasanya cukup beralasan jika saya punya kekuatiran sedemikian.
Tuhan, janganlah itu sampai terjadi. Ijinkanlah bangsa ini tetap kokoh dan megah berdiri, karena masih ada kami yang terlalu mencintainya, selamatkanlah kiranya. Ini doaku untuk bangsaku. Amin.
Halaman Monas, 26 September 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H