Manusia diciptakan oleh Tuhan tidak untuk sendiri. Manusia merupakan makhluk sosial. Sehingga kebutuhan akan sesama maupun makhluk lain adalah kodrat kita sebagai manusia. Sebagai makhluk sosial kita berinteraksi dengan orang lain. Tujuannya pun beragam bisa untuk kepentingan bisnis, untuk pencapaian tujuan yang sama (organisasi), dan juga untuk kepentingan pribadi atau bisa disebut kebutuhan akan teman.
Tuhan adalah sosok yang adil. Dia tidak meminta semua kasih dan cinta makhluknya hanya untukNya. Karena itulah Dia berikan makhluknya rasa kasih, butuh dan cinta untuk sesama makhluknya.
Di dunia yang semakin berkembang ini, tuntutan hidup ikut pula bertambah. Masalah-masalah pun terkadang menuntut penyelesaian yang cepat dan matang. Tidak bisa dipungkiri manusia terkadang membutuhkan orang lain untuk membantunya menyelesaikan problema hidup. Atau sekedar untuk berbagi, ikut merasakan masalah yang dihadapi. Terkadang hal ini dirasakan cukup bagi sebagian orang.
Di perusahaan tempat saya bekerja, kebutuhan seperti hal tersebut di atas menjadi perhatian oleh departemen kami, Human Capital Departement. Dalam departemen kami ada program “Month of Counselling” sebagai wujud kepekaan kami atas hal tersebut. Konselor perusahaan adalah seluruh staff Human Capital, termasuk saya sendiri.
Banyak hal yang saya dapatkan dari komunikasi antar personal, informasi, pengetahuan, pengalaman, dan pembelajaran yang mungkin tidak saya dapatkan jika tidak adanya program ini. Konseli yang saya hadapi pun mempunyai latar belakang beragam; pendidikan, keluarga, ekonomi, komunitas sosial.
Para konseli juga merupakan karyawan di perusahaan tempat saya bekerja, hanya saja berbeda departement. Mereka cukup antusias mengikuti program ini. Selalu saja menarik dari tiap cerita yang mereka tuturkan. Bagi saya sendiri setiap sesi konseli merupakan hal yang menarik juga bagi saya. Setiap konseli yang mendatangi saya pada awalnya mereka berpikir bahwa sesi konseli tidak akan menyita banyak waktu. Namun ternyata, setelah satu persatu cerita mereka tuturkan, waktu dua jam yang telah mereka gunakan pun tak terasa. Pernah salah satu konseli sebelum memasuki ruangan saya bertanya pada temannya yang sudah saya konseling,
“koq kamu lama amat di dalam, Ton? Ditanyain apa aja sama bu Lusi?”
”Cuma ngobrol-ngobrol biasa aja, Pak,” jawabnya sambil tersenyum.
Dan setelah si bapak penanya ini selesai menjalani sesi konseling bersama saya, keluar ruangan saya dan melihat jam di atas pintu ia pun terkejut, “waduh bu Lusi, ternyata saya lebih lama dari Pak Anton, “ ujarnya dengan diiringi tawa lepasnya.
Saya hanya tersenyum. Rekan-rekan sesama HC saya pun mengerti mengapa mereka tanpa sadar telah menghabiskan waktu dua jam dalam sesi konseling.
Yang perlu dimengerti dari konseling adalah mindset tentang konseling itu sendiri. Pada dasarnya konseling bukanlah sesi intervieuw atau tanya jawab antara konselor dan konseli. Konseling merupakan sesi di mana konseli menceritakan permasalahannya dan konselor membantu menemukan penyelesaiannya.
Konselor yang baik dan benar adalah konselor yang mampu menggerakkan konseli bercerita dengan lugas. Lugas berarti ia bisa dengan nyaman bercerita dengan jujur dan penuh rasa. Bukanlah hal yang tepat jika konselor mengemukakan pandangan pribadinya atas permasalahan si konseli, terlebih ia menjudge konseli atau pada orang-orang dalam cerita si konseli.
Yang perlu dilakukan konselor adalah:
1. Mendengarkan seksama cerita/ permasalahan si konseli;
2. Menganalisa cerita/ permasalahan;
3. Membingkai ulang (reaframing) masalah;
4. Membantu konseli menganalisa sumber masalah;
5. Membantu konseli menemukan solusi melalui diskusi analisa masalah dan uji SWATT solusi;
6. Selalu menggunakan kata-kata positif