Mohon tunggu...
Lusia Arumingtyas
Lusia Arumingtyas Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

doing anything with love !

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Media Online: Traffic atau Kode Etik?

12 April 2013   10:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:19 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Penggunaan internet kian hari semakin meningkat, begitu juga pengunjung dalam media online. Namun, kecepatan dalam penyebaran arus informasi di media online seringkali disalahartikan. Demi mengejar sebuah traffic, terkadang isi berita mengindahkan dari pakem etika jurnalisme.

Akses untuk memperoleh informasi semakin cepat dan mudah seiring dengan adanya perkembangan teknologi yang ada. Hal ini sebagai inovasi lanjutan sejak dimunculkannya new media pada tahun 1970-an. Begitu juga dengan wajah media internet kita, dimana media online mulai menjamur dan menampakkan eksistensinya.

Sebuah media tidak dapat berkembang tanpa adanya perhatian dan dukungan dari khalayak masyarakat. Begitu juga dengan halnya media online dalam mencari masyarakat maupun produsen iklan untuk menghidupi medianya. Oleh karenanya, eksistensi dimunculkan melalui strategi-strategi jitu dari pemilik media online di tengah persaingan yang ada.

Pertumbuhan Media Online

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Aliansi Jurnalisme Indonesia (AJI), penggunaan media online cukup pesat dibanding media-media lainnya, naik dari 26% menjadi 30% dibandingkan tahun lalu. Sehingga Indonesia mendapatkan rangking ketiga se-Asia Tenggara sebagai pengguna internet terbanyak setelah China dan India.

Seiring dengan itu, realitas ekonomi perlu dipahami sebagai dampak dari perkembangan media ini. Media merupakan suatu sistem kompleks yang muncul sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan. Media perlu untuk memperebutkan waktu, perhatian dan dukungan agar tetap hidup dan memperoleh keberhasilan finansial (Fidler, 2003 : 193).

Roger Filder dalam bukunya Mediamorphosis juga memaparkan bahwa sumber penghasilan di masa depan untuk World Wide Web adalah harus menunjukkan kemampuan untuk menarik dan mempertahankan pelanggan-pelanggan untuk dapat menarik para pengiklan (hal.195). Bisnis dalam media online menjadi penting bagi produsen di masa yang akan datang untuk mengiklankan produknya. “Indonesia diperkirakan 3-5 tahun lagi akan mengalami masa keemasan sebuah bisnis media online,” ungkap CEO Nielsen Online Japan, Charles Buchwalter (http://nasional.kompas.com/read/2010/06/03/1603125/iklan.online.melonjak.3.5.tahun.lagi.)

Perkembangan teknologi masa kini dapat didefenisikan sebagai dogma self-fulfilling prophecy, yaitu perkembangan optimal berbagai teknologi menjadi benar-benar ditentukan oleh mekanisme pasar (Fidler, 2003 : xxv). Dimana pasar saat ini sangat mengantunggkan dirinya pada teknologi. Hal ini juga dibuktikkan dengan munculnya sebutan ‘generasi menunduk’, dimana ketergantungan akan sebuah teknologi yang bernama gadget semakin meningkat.

Konvergensi media pun terjadi, perusahaan media tidak hany berupa media elektronik maupun cetak tetapi juga dengan media online. Selain itu, fenomena ini juga melahirkan banyak citizen journalism di media kita. Sehingga tak jarang jika media online sekarang bersaing dalam hal traffic.

Kredibilitas Media Online

Media online sedang mendulang kesuksesannya, didukung dengan semakin meningkatnya penggunaan media online di Indonesia. Melalui internet-on-line journalism-kita bisa menjelajahi berita dengan kedalamannya tanpa ada batasan atau kendala ruang. Berita pun dapat menyebar luas dan dapat diperbaharui. On-line journalism menerapkan annotative journalism : tinggal meng-klik satu kata, kita bisa mendapatkan informasi sebanyak yang tersedia (Ishwara, 2005 : 49).

Pada dasarnya, media online memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan media lainnya seperti kecepatan, interaktivitas, prinsip partisipatori dan emansipasi publik, dan ruang media sebagai ruang publik deliberatif, seperti yang diungkapkan oleh Agus Sudibyo, selaku Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan. Namun, etika jurnalisme yang digunakan media cetak ataupun elektronik sama berlakunya di media online.

Akan tetapi pada kenyataannya banyak persepsi keliru mengenai jurnalisme online yang dianggap  jurnalisme yang tidak serius. Hal ini jelas menurunkan kredibilitas ilmu jurnalisme dalam menjalankan tugasnya untuk menyebarkan informasi. Ini didukung dengan banyaknya kasus pelanggaran kode etik yang terjadi.

“Dari pengaduan yang terkait mediaonline, 76 persen adalah pelanggaran kode etik jurnalistik,” ujar Agus Sudibyo (7/4).

Ada enam jenis pelanggaran media online yang seringkali diadukan ke Dewan Pers. Pelanggaran pertama, media siber tidak menguji informasi atau melakukan konfirmasi sebanyak 30 kasus.  Pelanggaran kedua, berita tidak akurat (30 kasus); ketiga, mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi (17 kasus); keempat, tidak berimbang (10 kasus); kelima, tidak menyembunyikan identitas korban kejahatan susila (tiga kasus); dan keenam, tidak jelas narasumbernya (satu kasus).

Faktanya, kredibilitas berita dalam media online menjadi dipertanyakan dilihat dari proses produksi berita, etika berita dan sumber dayanya. Michael Oreskes mengatakan berdasarkan pengamatannya, internet adalah medium yang lebih terkait dengan kecepatan, bukan dengan akurasi. Mungkin ini menjadi salah satu alasan kredibilitas media online menurun.

Kecepatan Vs Akurasi

Kecepatan memberitakan berita yang mengabaikan verifikasi seringkali dilakukan oleh pekerja dibalik perusahaan media online. Ternyata verifikasi dalam kode etik jurnalisme seringkali dilanggar untuk mengejar traffic yang dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan.

Traffic menjadi salah satu peluang bagi media online untuk menarik hati para produsen iklan untuk beriklan dalam media online tersebut. Sehingga setiap klik yang dilakukan oleh pengunjung dapat memberikan biaya hidup bagi media online itu sendiri. Tak dapat dipungkiri bahwa iklan menjadi nyawa baru bagi perusahaan media.

Celakanya jika hanya untuk mengejar target traffic tetapi tidak dibarengi dengan tingkat keakurasian sebuah informasi sangat menjatuhkan kredibilitas pers saat ini. Pembuatan berita yang sensasional sering menjadi daya tarik bagi para jurnalis untuk dapat menarik hati para pembaca. Begitu juga dengan munculnya jurnalisme mutilasi dengan menghadirkan berita yang tidak berimbang dan tidak akurat. Seringkali antara kecepatan dan kesalahan dalam menyebarkan informasi menjadi sesuatu yang beda tipis, sehingga kesalahan pun sering terjadi dan tanpa disadari.

Dalam pedoman mengenai jurnalisme online yang dikeluarkan oleh Dewan Pers, menyebutkan bahwa pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi, dimana hal itu memenuhi prinsip akurasi dan juga keberimbangan. Sebuah berita yang belum diverifikasi dapat dipublikasikan, dengan syarat (a) berita benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak (b)Sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten (c)Subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai (d) media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring.

Kemudian setelah memuat berita sesuaidengan hal tersebut, media wajib meneruskan upaya verifikasi, dan setelah verifikasi didapatkan, hasil verifikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update) dengan tautan pada berita yang belum terverifikasi.

Oleh karena itu, pada dasarnya tidak hanya pada kecepatan yang diinginkan oleh masyarakat dalam mendapatkan sebuah informasi melalui media online.  Namun, hal itu dibarengi dengan adanya verifikasi. Berita yang dianggap sebagai ‘berita’ dalam jurnalisme online adalah data yang sudah diverifikasi.

Walaupun pada kenyataannya bahwa pasar iklan di dunia online yang menggunakan sistem iklan berdasarkan traffic, tidak selamanya itu menjadi sebuah kepercayaan. Pemahaman mengenai kode etik jurnalisme online dan etika jurnalistik tetap menjadi pegangan bagi para jurnalis karena pada dasarnya jurnalisme online lebih mengedepankan verifikasi.

Daftar Pustaka :

Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta : Kompas.

Fidler, Roger. 2003. MEDIAMORFOSIS : Memahami Media Baru. Yogyakarta : Bentang Budaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun