Sulitnya pemberlakuan Jilbab Polwan bagi Muslimah dan bagi karyawan muslimah kontradiktif  dengan jargon kebebasan beragama  dalam konsep demokrasi. Padahal mengenakan jilbab merupakan bukti ketaatan  setiap muslimah pada aturan agamanya, karena mengenakan jilbab adalah kewajiban setiap muslimah. Sayangnya, hanya karena alasan administratif tidak adanya Peraturan Kapolri (Perkap) terkait penggunaan Jilbab Polisi Wanita (Polwan) dan belum disiapkannya anggaran bagi para Polwan yang ingin menggunakan jilbab saat bertugas, para polwan  terhambat  dalam melaksanakan kewajiban tersebut. Padahal ini jelas bukanlah tindak kemaksiatan yang akan menuai kerugian.
Hambatan yang ditunjukkan oleh Polri dan perusahaan ini menyiratkan masih melekatnya stigma bahwa ketaatan terhadap syariat Islam akan menghambat dan merugikan. Padahal dengan berpakaian sebagaimana seorang muslimah yang taat, akan mendorong para polwan untuk melaksanakan kewajibannya sebagai polwan bukan hanya sebagai tuntutan profesi, tetapi juga sebagai bagian tanggung jawab kepada Sang Pencipta, Allah SWT.
Hendaknya kaum muslim yang mayoritas di negeri ini menyadari bahwa permasalahan utamanya bukan sekadar hambatan jilbab Polwan maupun larangan jilbab karyawan di beberapa daerah. Penerapan sistem demokrasi dan kapitalisme serta ditinggalkannya Syariah Islam untuk mengatur aspek politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya inilah yang menjadi sumber berbagai masalah. Syariat Islam tidak ditempatkan posisinya sebagai konstitusi dan perundang-undangan yang dilaksanakan untuk mengatur masyarakat.
Oleh karena itu marilah kita segera memperjuangkan tegaknya seluruh Syariah Islam dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Islam adalah rahmat, bukan hanya kebaikan bagi umat Islam tapi juga rahmat bagi semua manusia. Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H