Mohon tunggu...
Nurfadhilah
Nurfadhilah Mohon Tunggu... Konsultan - Beramal demi ridha Allah
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang ibu rumah tangga dan pemerhati dunia Islam

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Antara Amanah dan Ambisi

16 April 2021   19:08 Diperbarui: 16 April 2021   19:10 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di bawah sistem sekular yang mencampakkan aturan agama (syariah Islam), sebagaimana di negeri ini, kekuasaan benar-benar telah menimbulkan fitnah. Banyak orang berlomba-lomba meraih dan atau mempertahankan kekuasaan. Segala cara digunakan. Tanpa peduli halal dan haram.

Ambisi kekuasaan merupakan bagian dari keinginan hawa nafsu. Islam mengajarkan bahwa hawa nafsu harus ditata dan dikendalikan sesuai petunjuk Allah SWT. Sebabnya, hawa nafsu itu sering memerintahkan pada keburukan (Lihat: QS Yusuf [12]: 53).

Jauh-jauh hari Rasulullah saw. telah mensinyalir ambisi kekuasaan ini. Beliau pun memperingatkan umatnya agar hati-hati terhadap akibatnya:

Sungguh kalian akan berambisi terhadap kepemimpinan (kekuasaan), sementara kepemimpinan (kekuasaan) itu akan menjadi penyesalan dan kerugian pada Hari Kiamat kelak. Alangkah baiknya permulaannya dan alangkah buruknya kesudahannya (HR al-Bukhari, an-Nasa'i dan Ahmad).

Karena itulah Rasul saw. memberikan contoh dengan tidak memberikan kekuasaan atau jabatan kepada orang yang meminta kekuasaan atau jabatan tersebut.

Kekuasaan dan jabatan itu jelas merupakan amanah. Amanah kekuasaan atau jabatan itu benar-benar akan menjadi penyesalan dan kerugian di akhirat kelak bagi pemangkunya; kecuali jika dia berlaku adil, mendapatkan kekuasaan dengan benar serta menunaikan kekuasaannya dengan amanah.

Kewajiban penguasa seperti dalam hadis Abdullah bin Umar ra. adalah memelihara urusan-urusan rakyat (ri'yah syu`n ar-ra'yah). Ri'yah itu dilakukan dengan siyasah (politik) yang benar, yaitu seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahh Muslim. Ri'yah atau siysah yang baik itu tidak lain dengan menjalankan hukum-hukum syariah serta mengutamakan kemaslahatan dan kepentingan rakyat.

Begitulah sosok pemimpin yang adil. Dia dicintai oleh Allah SWT dan umat karena menjalankan hukum-hukum-Nya dan menunaikan amanahnya. Allah SWT berfirman:

Sungguh Allah menyuruh kalian memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia agar kalian berlaku adil (TQS an-Nisa' [4]: 58).

Inilah dua sifat yang melekat pada pemimpin yang adil. Pertama: Menjalankan hukum-hukum Allah SWT dalam pelaksanaan ibadah umat, muamalah, hukum-hukum ekonomi Islam (tentang kepemilikan, pengelolaan kekayaan milik umum, keuangan negara), hukum peradilan dan pidana Islam (hudud, jinayat, ta'zir maupun mukhalafat), hukum-hukum politik luar negeri; dsb.

Kedua: Menunaikan amanah ri'yah, yakni memelihara semua urusan umat seperti menjamin pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan bagi tiap individu warga negara); menjamin pemenuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan secara cuma-cuma; serta melindungi rakyat dari berbagai gangguan dan ancaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun