Mohon tunggu...
Nurfadhilah
Nurfadhilah Mohon Tunggu... Konsultan - Beramal demi ridha Allah
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang ibu rumah tangga dan pemerhati dunia Islam

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ada Apa di Balik Politik Pencitraan?

10 Februari 2018   06:55 Diperbarui: 10 Februari 2018   07:52 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: funnypictures3.fjcdn.com

Pendahuluan

Dengan adanya dua agenda politik besar, yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak dan pendaftaran untuk menjadi calon presiden dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019, menjadikan tahun 2018 menjadi tahun politik bagi bangsa ini. Pada tahun ini dipastikan akan terjadi proses konsolidasi politik secara massif oleh elite politik negeri ini untuk menghadapi Pilkada serentak di 171 daerah (17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten) dan dimulainya tahapan Pilpres 2019.

            Di tahun politik ini masyarakat akan menyoroti berbagai manuver dan konstelasi politik para elite demi meraih kekuasaan, baik di daerah maupun uji penjajakan figur yang pantas diusung menjadi presiden. Salah satu manuver yang kini sedang gencar dilakukan adalah pencitraan. Pencitraan dianggap sebagai puncak tahapan pemilu yang sangat penting bagi elite politik, di samping elektabilitas. Bahkan, tahun 2018 disebut juga sebagai tahun pencitraan. 

Strategi pencitraan dibuat sedemikian rupa agar citra elit politik/kandidat yang terekam dan melekat di benak publik (dalam hal ini pemilih) adalah sesuatu yang positif, sehingga mereka terdorong untuk mendukung dan memberikan suara kepada kandidat tersebut dalam pemilu.

            Dalam pemasaran politik dipercayai bahwa keinginan untuk memilih kandidat secara signifikan dipengaruhi oleh sikap terhadap kandidat dan norma subjektif interpersonal. Pemilih tidak terlalu memperhatikan atribut kandidat, seperti visi/misi/program kandidat. Pemilih lebih menekankan pada perasaan simpati, senang, dan bangga terhadap seorang kandidat ketika memilih. Jadi, proses pengambilan keputusan pemilih tidak selamanya dipengaruhi oleh pengetahuan pemilih tentang program-program maupun informasi-informasi yang membangun brand politik, tetapi proses itu bisa jadi dipengaruhi kuat oleh impression (keterkesanan) dan nonrational evaluation criteria (kriteria yang tidak rasional yang dipakai pemilih dalam mengevaluasi para kandidat). 

 

Bahaya di Balik Politik Pencitraan

           Di balik bagusnya penampilan dan manisnya janji-janji politik yang disampaikan seorang kandidat dalam kampanye dan iklan-iklan politiknya, ada bahaya besar yang mengintai rakyat Indonesia, khususnya umat Islam. Politik pencitraan ternyata tidak hanya sebatas untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya agar seorang kandidat bisa terpilih dalam pemilu nanti, tapi ada bahaya terselubung yang harus segera disadari oleh umat ini.

            Dengan politik pencitraan maka hak-hak umat akan kembali tidak ditunaikan oleh penguasa. Akibatnya, kesejahteraan yang dijanjikan bagi rakyat tidak akan pernah tercapai. Mengapa? Karena politik pencitraan hanya menawarkan janji-janji politik yang manis tapi minus dari pelaksanaannya. Sudah banyak bukti yang menunjukkan kebohongan penguasa sekarang yang tidak memenuhi janjinya ketika kampanye. Umat terperosok kembali ke dalam lubang yang sama.

            Selain itu, bahaya lain dari politik pencitraan adalah keberadaannya yang semakin mengokohkan sistem demokrasi. Dengan politik pencitraan umat akan memilih calon penguasa yang akan menerapkan sistem demokrasi dimana penguasa akan menjalankan aturan-aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan atau suara terbanyak atau pesanan asing di DPR. 

Sistem demokrasi yang berasaskan sekulerisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan, menyebabkan aturan agama (Islam) tidak boleh digunakan untuk mengatur urusan masyarakat dan negara. Akibatnya, umat tidak diatur dengan aturan Islam, melainkan diatur dengan aturan buatan manusia yang sudah terbukti telah banyak menimbulkan kerusakan di tengah masyarakat.

            Yang tidak kalah berbahayanya, politik pencitraan akan menghilangkan keberadaan Islam Politik di tengah-tengah umat. Islam cukup ditempatkan sebagai agama yang mengatur masalah ibadah dan akhlak saja, tidak boleh ditempatkan dalam ranah politik dan mengatur urusan masyarakat dan negara. Jargon "Islam Ritual Yes, Islam Politik No" cukup menggambarkan bahwa tidak ada ruang bagi Islam Politik di negeri ini. 

            Berbagai upaya dilakukan untuk memburu Islam Politik dengan cara mengkriminalisasi ajaran Islam, memberikan stigma radikalisme dan stigma negatif lainnya kepada mereka yang memperjuangkan Islam Kaffah, mempersekusi para ulama yang ikhlas memperjuangkan kebenaran Islam, membubarkan ormas yang memperjuangkan penerapan syariah Islam melalui Perppu Ormas yang akhirnya disahkan menjadi UU Ormas, dan cara-cara lainnya, termasuk dengan politik pencitraan menjelang Pilkada 2018, Pileg dan Pilpres 2019.

            Dengan politik pencitraan, umat yang masih memiliki ghirah yang tinggi semenjak Aksi Bela Islam  akan diarahkan untuk memilih calon pemimpin yang tampak Islami. Jangan heran apabila kita melihat kandidat calon pemimpin sekarang mendadak berpenampilan Islami atau seolah-olah mendukung aturan Islam, seperti menolak keberadaan LGBT, padahal sebelumnya mendukung keberadaan kaum Nabi Luth ini. Mereka melihat potensi umat Islam ini sebagai ceruk pasar yang menguntungkan. Sehingga, berbagai strategi pun mereka lakukan untuk bisa meraih suara umat. Setelah terpilih, mereka akan kembali menerapkan sistem demokrasi yang tidak memberi tempat bagi Islam Politik. Umat kembali ditipu.                  

Penutup

Islam adalah agama yang unik dan khas. Aqidah Islam mampu membentuk setiap pemeluknya menjadi pribadi-pribadi yang khas pula. Kepribadian khas ini terbentuk dari pola pikir dan pola sikap yang Islami. Seseorang dikatakan berkepribadian Islami jika ia memiliki pola pikir dan pola sikap yang Islami. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa berpikir dengan dasar pola pikir Islam, dan berperilaku dalam memenuhi kebutuhan jasmani dan nalurinya sesuai dengan aturan Islam. Kepribadian Islam inilah yang dibentuk oleh Rasulullah saw. terhadap para sahabat sehingga lahir pemimpin-pemimpin yang amanah dan berakhlak mulia.

Tidak kalah pentingnya, aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya harus berasal dari aturan Allah SWT semata. Tiadalah ia menggunakan hawa nafsunya untuk mengeluarkan hukum yang digunakan untuk mengatur rakyat yang berada di bawahnya. Ia hanya menjadikan Alquran dan Hadits Rasulullah sebagai sumber hukumnya dalam mengurus urusan rakyatnya.

Dengan demikian, umat tidak akan salah dalam memilih pemimpin. Umat pun tidak akan kecewa dan merasa tertipu. Karena sosok yang dipilihnya bukan hasil dari politik pencitraan. Tetapi murni dari dorongan aqidah Islam yang melahirkan sosok pemimpin yang melayani dan melindungi rakyat. Pemimpin yang akan memenuhi hak-hak umat sebagaimana yang ditetapkan oleh Islam. Wallahu a'lam.

Oleh : Thirza Yasmin Mumtaaz

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun