Yang tidak kalah berbahayanya, politik pencitraan akan menghilangkan keberadaan Islam Politik di tengah-tengah umat. Islam cukup ditempatkan sebagai agama yang mengatur masalah ibadah dan akhlak saja, tidak boleh ditempatkan dalam ranah politik dan mengatur urusan masyarakat dan negara. Jargon "Islam Ritual Yes, Islam Politik No" cukup menggambarkan bahwa tidak ada ruang bagi Islam Politik di negeri ini.Â
      Berbagai upaya dilakukan untuk memburu Islam Politik dengan cara mengkriminalisasi ajaran Islam, memberikan stigma radikalisme dan stigma negatif lainnya kepada mereka yang memperjuangkan Islam Kaffah, mempersekusi para ulama yang ikhlas memperjuangkan kebenaran Islam, membubarkan ormas yang memperjuangkan penerapan syariah Islam melalui Perppu Ormas yang akhirnya disahkan menjadi UU Ormas, dan cara-cara lainnya, termasuk dengan politik pencitraan menjelang Pilkada 2018, Pileg dan Pilpres 2019.
      Dengan politik pencitraan, umat yang masih memiliki ghirah yang tinggi semenjak Aksi Bela Islam  akan diarahkan untuk memilih calon pemimpin yang tampak Islami. Jangan heran apabila kita melihat kandidat calon pemimpin sekarang mendadak berpenampilan Islami atau seolah-olah mendukung aturan Islam, seperti menolak keberadaan LGBT, padahal sebelumnya mendukung keberadaan kaum Nabi Luth ini. Mereka melihat potensi umat Islam ini sebagai ceruk pasar yang menguntungkan. Sehingga, berbagai strategi pun mereka lakukan untuk bisa meraih suara umat. Setelah terpilih, mereka akan kembali menerapkan sistem demokrasi yang tidak memberi tempat bagi Islam Politik. Umat kembali ditipu.         Â
Penutup
Islam adalah agama yang unik dan khas. Aqidah Islam mampu membentuk setiap pemeluknya menjadi pribadi-pribadi yang khas pula. Kepribadian khas ini terbentuk dari pola pikir dan pola sikap yang Islami. Seseorang dikatakan berkepribadian Islami jika ia memiliki pola pikir dan pola sikap yang Islami. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa berpikir dengan dasar pola pikir Islam, dan berperilaku dalam memenuhi kebutuhan jasmani dan nalurinya sesuai dengan aturan Islam. Kepribadian Islam inilah yang dibentuk oleh Rasulullah saw. terhadap para sahabat sehingga lahir pemimpin-pemimpin yang amanah dan berakhlak mulia.
Tidak kalah pentingnya, aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya harus berasal dari aturan Allah SWT semata. Tiadalah ia menggunakan hawa nafsunya untuk mengeluarkan hukum yang digunakan untuk mengatur rakyat yang berada di bawahnya. Ia hanya menjadikan Alquran dan Hadits Rasulullah sebagai sumber hukumnya dalam mengurus urusan rakyatnya.
Dengan demikian, umat tidak akan salah dalam memilih pemimpin. Umat pun tidak akan kecewa dan merasa tertipu. Karena sosok yang dipilihnya bukan hasil dari politik pencitraan. Tetapi murni dari dorongan aqidah Islam yang melahirkan sosok pemimpin yang melayani dan melindungi rakyat. Pemimpin yang akan memenuhi hak-hak umat sebagaimana yang ditetapkan oleh Islam. Wallahu a'lam.
Oleh : Thirza Yasmin Mumtaaz
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H