Mohon tunggu...
Nurfadhilah
Nurfadhilah Mohon Tunggu... Konsultan - Beramal demi ridha Allah
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang ibu rumah tangga dan pemerhati dunia Islam

Selanjutnya

Tutup

Politik

Liberalisasi Dibalik Kenaikan Harga BBM, Gas dan Listrik

21 Januari 2015   14:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:41 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemerintah kembali menurunkan harga BBM setelah sempat naik drastis pada bulan November 2014 kemarin. Namun, harga kebutuhan pokok masih tetap tinggi. Saat menaikkan harga BBM, pemerintah beralasan hal tersebut dilakukan untuk menguatkan nilai tukar rupiah. Nyatanya, nilai rupiah menguat hanya sesaat.  Efek turunnya harga premium dan solar pun tidak terasa, karena harga LPG 12 kg dan tarif listrik naik. Kenaikan harga LPG ini merupakan penyesuaian terhadap kaidah bisnis perusahaan, yaitu menyesuaikan harganya dengan harga pasar gas internasional. Tarif listrik pun akan mengalami penyesuaian harga secara berkala.

Dengan adanya penghapusan subsidi BBM, kebijakan naik turunnya harga BBM ini dianggap sebagai penyesatan opini publik. Karena masyarakat beranggapan bahwa pemerintah menurunkan harga BBM, padahal sebenarnya pemerintah justru melepaskan harga BBM pada pasar. Artinya, jika harga minyak dunia naik, maka harga BBM pun akan kembali naik.

Inilah kebijakan yang meliberalisasikan harga BBM. Hal ini yang terus didesak oleh IMF, Bank Dunia, USAID, ADB dan pihak internasional umumnya. Melalui kebijakan ini, liberalisasi migas semakin sempurna. Pertamina sebagai BUMN harus bersaing dengan SPBU asing. Nyatanya, sejak harga BBM naik, SPBU asing mulai dilirik oleh masyarakat. Ini jelas merugikan pemerintah dan menguntungkan asing.

Kebijakan ini jelas menyalahi Islam. Sebab, Allah swt yang menciptakan migas dan energi telah menetapkan bahwa migas dan energi merupakan kepemilikan umum. Hal ini berarti tidak boleh diserahkan pada swasta atau asing. Sebaliknya, migas dan energi harus dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Seluruh rakyat, berhak untuk menggunakan dan mendapat manfaat dari migas dan listrik sebesar mungkin, dengan cara semudah mungkin tanpa membebani rakyat. Ini tidak terwujud dalam kebijakan sekarang yang diambil oleh pemerintah. Kebijakan sekarang justru menjadi jalan kaum kafir menguasai kaum Muslim. Dan ini jelas haram. Allah berfirman :

"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu)." (QS. Ali Imran ayat 28).

Selain menyusahkan rakyat dan menguntungkan para pemilik modal, kebijakan ini pun bertentangan dengan aturan Allah. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita kembali pada petunjuk Allah dengan menerapkan aturan yang berasal dari Allah secara kaffah. Ini hanya bisa dilakukan dalam naungan institusi Khilafah sesuai manhaj kenabian.

Wallahu’alam bish shawab.

Tati Nurhayati

Pengurus MT Al-Hidayah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun