Anak-anak memiliki hak yang sama dengan orang dewasa. Salah satu hak khusus yang dimiliki anak sebagai kelompok rentan adalah hak untuk diakui bahwa anak memiliki kebutuhan khusus atas perlindungan dan juga yang membantu mereka mengembangkan potensi penuh mereka.Â
Anak bukanlah sebuah objek yang tidak berdaya atau di bawah kepemilikan orang tua mereka. Anak harus diakui sebagai manusia dan subjek, yang memiliki hak mereka sendiri.Â
Seorang anak adalah seorang individu, keluarga dan anggota masyarakat yang memiliki hak dan tanggung jawab yang sesuai untuk usia dan tahap perkembangannya.Â
Menurut Convention on the Rights of the Child, anak-anak harus menikmati kualitas dasar hidup sebagai hak dasar yang dimiliki mereka dan bukan sebuah hak istimewa yang diberikan kepada mereka.
Hak anak terdiri dari berbagai bidang di dalam spektrum yang luas meliputi hak sipil yaitu untuk diakui kewarganegaraannya, hak untuk mendapatkan pengasuhan baik dari keluarga atau alternatif, hak atas kesehatan, hak untuk mendapatkan pendidikan, rekreasi, dan aktivitas budaya, hak untuk mendapatkan perlindungan khusus, dan hak-hak lainnya.Â
Hak-hak yang dimiliki oleh anak tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan satu sama lain. Dengan kata lain, ketika salah satu dari hak yang dimiliki anak tidak terpenuhi, maka akan berakibat pada tidak terpenuhi haknya yang lain atau menurunkan kualitas pemenuhan hak yang diterima oleh anak.
Lalu bagaimana dengan konteks Indonesia? Di Indonesia secara umum perlindungan dan pemenuhan hak anak diatur dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Â
Implementasi aturan hukum ini adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar tetap hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapat perlindungan dari kekerasan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Â
Dalam hukum ini juga menjelaskan bahwa orang tua, keluarga, pemerintah, dan negara merupakan agen sosial yang memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan perlindungan dan pemenuhan hak anak.
Meski sudah terdapat landasan hukum yang jelas, perlindungan dan pemenuhan hak anak di Indonesia belum terlaksana dengan baik. Agen sosial yang berkewajiban untuk menyelenggarakan perlindungan dan pemenuhan hak anak juga belum melaksanakan perannya secara optimal. Masih banyak kasus-kasus perlindungan anak yang terjadi di Indonesia mulai dari penelantaran, perdagangan manusia, hingga eksploitasi.
Dilansir dari Kompas.com, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menemukan 4.116 kasus kekerasan terhadap anak pada periode 1 Januari hingga 31 Juli 2020
Dari data tersebut, terdapat 3.296 korban anak perempuan dan 1.319 korban anak laki-laki. Dari data tersebut juga ditemukan 1.111 kasus kekerasan fisik, 979 kasus kekerasan psikis, 2.556 kekerasan seksual, 68 kasus eksploitasi anak, 73 tindak pidana perdagangan anak, dan 346 kasus penelantaran.
Negara dan pemerintah Indonesia sebagai salah satu agen penyelenggara perlindungan anak menghadapi berbagai kesulitan sehingga permasalahan ini tidak menjadi fokus utama mereka. Secara geografis, Indonesia rentan terhadap bencana alam, seperti gempa bumi, gelombang tinggi air laut, banjir, kebakaran hutan, dan erupsi gunung berapi.Â
Semua hal ini berdampak signifikan yang menjadikan anak terutama di daerah bencana menjadi lebih rentan. Selain itu secara politik, Indonesia terbagi menjadi 34 provinsi. Program desentralisasi memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar dalam hal perencanaan dan manajemen kepada pemerintah provinsi dan kabupaten.Â
Namun, pemerintah daerah sering kali mengalami kelangkaan dana dan kapasitas sumber daya manusia untuk melaksanakan tugas-tugas ini, sehingga memengaruhi kemampuan mereka memenuhi kebutuhan anak. Kelangkaan dan kapasitas sumber daya di daerah juga  berdampak pada ketimpangan baik secara ekonomi, infrastruktur, dan akses.Â
Ketimpangan ini mengakibatkan banyak anak dan keluarga di Indonesia kesulitan untuk mendapatkan akses terhadap listrik, air bersih, kesehatan, gizi dan pangan yang layak, pendidikan terutama untuk anak-anak difabel, hingga tempat tinggal.Â
Meski sudah banyak program yang telah dikembangkan untuk mengatasi permasalahan ini baik oleh pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat, masih belum ada perubahan positif yang signifikan.Â
Program-program yang dibentuk oleh LSM untuk membantu kerja pemerintah masih sangat terbatas dan tidak ada payung kebijakan pada tingkat nasional. Kesulitan serta tantangan yang dihadapi baik oleh pemerintah dan LSM kemudian menjadi semakin sulit akibat dari pandemi Covid-19 yang masih berlanjut hingga saat ini.
Di pihak lain, keluarga juga mengalami banyak kesulitan yang dapat berasal dari luar akibat dari ketimpangan serta kegagalan pemerintah maupun permasalahan dari dalam keluarga. Kasus perceraian, disharmoni keluarga, kemiskinan, perilaku ayah atau ibu yang salah, rendahnya pendidikan serta pemahaman orang tua, pernikahan sirri dan berbagai permasalahan lainnya menjadi salah satu pemicu terabaikannya hak-hak anak dalam keluarga.
Lalu bagaimana kita sebagai individu dapat membantu untuk mengurangi kasus kekerasan dan pengabaian hak-hak terhadap anak ketika negara belum bisa sepenuhnya memenuhi peran mereka dan menghadapi banyaknya perbedaan penyebab yang terdapat dalam keluarga?Â
Untuk saat ini mungkin kita tidak dapat berbuat banyak. Selain karena permasalahan yang ada berada pada skala nasional, kondisi pandemi juga mempersempit ruang gerak LSM. Akan tetapi kita dapat memulai dari hal-hal kecil, mulai dari diri sendiri, keluarga, hingga masyarakat sekitar.Â
Sebagai orang dewasa, kita dapat memulai dari meningkatkan pemahaman dan menghormati antara anak-anak dan orang dewasa. Mulai melihat bahwa setiap anak baik laki-laki atau perempuan terlepas dari usianya adalah unik dan memiliki nilai kepentingan sebagai pribadi yang berhak atas martabat kemanusiaannya untuk dihormati.Â
Memiliki hak untuk berbicara dalam semua keputusan dan masalah yang menjadi perhatian atau melibatkan mereka, untuk didengarkan dan pendapatnya ditanggapi dengan serius. Partisipasi anak akan melindungi mereka secara lebih efektif dari pelecehan dan eksploitasi.Â
Ketika kita memahami dan menghormati pengalaman anak-anak, kita dapat menciptakan mekanisme perlindungan yang lebih baik dan anak-anak itu sendiri dapat bertindak sebagai agen aktif dalam melindungi diri mereka sendiri. Dan tentu hal ini membantu untuk mengembangkan dan membangun pengakuan anak sebagai pembawa hak independen dengan rasa identitas dan implikasi positif untuk harga diri mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H