Dilansir dari Kompas.com, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menemukan 4.116 kasus kekerasan terhadap anak pada periode 1 Januari hingga 31 Juli 2020
Dari data tersebut, terdapat 3.296 korban anak perempuan dan 1.319 korban anak laki-laki. Dari data tersebut juga ditemukan 1.111 kasus kekerasan fisik, 979 kasus kekerasan psikis, 2.556 kekerasan seksual, 68 kasus eksploitasi anak, 73 tindak pidana perdagangan anak, dan 346 kasus penelantaran.
Negara dan pemerintah Indonesia sebagai salah satu agen penyelenggara perlindungan anak menghadapi berbagai kesulitan sehingga permasalahan ini tidak menjadi fokus utama mereka. Secara geografis, Indonesia rentan terhadap bencana alam, seperti gempa bumi, gelombang tinggi air laut, banjir, kebakaran hutan, dan erupsi gunung berapi.Â
Semua hal ini berdampak signifikan yang menjadikan anak terutama di daerah bencana menjadi lebih rentan. Selain itu secara politik, Indonesia terbagi menjadi 34 provinsi. Program desentralisasi memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar dalam hal perencanaan dan manajemen kepada pemerintah provinsi dan kabupaten.Â
Namun, pemerintah daerah sering kali mengalami kelangkaan dana dan kapasitas sumber daya manusia untuk melaksanakan tugas-tugas ini, sehingga memengaruhi kemampuan mereka memenuhi kebutuhan anak. Kelangkaan dan kapasitas sumber daya di daerah juga  berdampak pada ketimpangan baik secara ekonomi, infrastruktur, dan akses.Â
Ketimpangan ini mengakibatkan banyak anak dan keluarga di Indonesia kesulitan untuk mendapatkan akses terhadap listrik, air bersih, kesehatan, gizi dan pangan yang layak, pendidikan terutama untuk anak-anak difabel, hingga tempat tinggal.Â
Meski sudah banyak program yang telah dikembangkan untuk mengatasi permasalahan ini baik oleh pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat, masih belum ada perubahan positif yang signifikan.Â
Program-program yang dibentuk oleh LSM untuk membantu kerja pemerintah masih sangat terbatas dan tidak ada payung kebijakan pada tingkat nasional. Kesulitan serta tantangan yang dihadapi baik oleh pemerintah dan LSM kemudian menjadi semakin sulit akibat dari pandemi Covid-19 yang masih berlanjut hingga saat ini.
Di pihak lain, keluarga juga mengalami banyak kesulitan yang dapat berasal dari luar akibat dari ketimpangan serta kegagalan pemerintah maupun permasalahan dari dalam keluarga. Kasus perceraian, disharmoni keluarga, kemiskinan, perilaku ayah atau ibu yang salah, rendahnya pendidikan serta pemahaman orang tua, pernikahan sirri dan berbagai permasalahan lainnya menjadi salah satu pemicu terabaikannya hak-hak anak dalam keluarga.
Lalu bagaimana kita sebagai individu dapat membantu untuk mengurangi kasus kekerasan dan pengabaian hak-hak terhadap anak ketika negara belum bisa sepenuhnya memenuhi peran mereka dan menghadapi banyaknya perbedaan penyebab yang terdapat dalam keluarga?Â
Untuk saat ini mungkin kita tidak dapat berbuat banyak. Selain karena permasalahan yang ada berada pada skala nasional, kondisi pandemi juga mempersempit ruang gerak LSM. Akan tetapi kita dapat memulai dari hal-hal kecil, mulai dari diri sendiri, keluarga, hingga masyarakat sekitar.Â