Langit merah awal bulan syawal
Inderaku terus memandang tanpa henti hingga semua berubah menjadi kelam
Kilas balik tahun tahun terakhir berjalan melintas di memori
Awal kembali, berharap menemukan sedikit penguat dari rapuhnya serpihan yang semakin tercerai berai
Memang tak sesuai, tapi banyak pelajaran tentang arti di sana
Goresan luka, cercaan kata, dan tatap kecewa
Bagai gambar kartun dalam komik tanpa warna, tapi sarat makna
Berusaha menjalani tapak demi tapak, sayatan demi sayatan, guratan demi guratan
Semoga hati mulai menerima
Tapi hati siapa?
Terlalu banyak keputusan yang telah kuambil dan tak sesuai ujungnya
Perlahan egoku mulai memudar, mencoba berdamai, pahit dan perih masih terasa setelahnya
Tapi semangat itupun ikut memudar, tertelan kabut malam
Dua srikandi bernyanyi, memanggil tiada henti
Inikah pelipur lara? Aku merasa tak layak meraihnya, meski terbersit rasa suka
Aku benar telah lupa bagaimana cara berjuang
Dulu, langit merah di hadapanku adalah tempatku menulis kata
Esok kan lebih baik, musim depan akan lebih baik, semua bisa bahagia dengan rencana
Kini, aku bahkan tak begitu yakin dengan malamnya, mampukah tidur membawa lupa
Esok kan lebih baik? entahlah, jalani saja
Mentari masih sama, kupandangi lagi saja Ia, tak pernah dusta, dan tak menurun mesranya
Awan dan hujan jadi musuh kita berdua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H