Siapa yang tidak kenal Investasi dewasa ini? Fintech? Berbagai platform menyajikan banyak ragam investasi mulai dari yang pasif hingga aktif, berpenghasilan harian bahkan jam. Penghasilan cepat itulah yang menarik para kantong kering mengikuti berbagai aplikasi berbau investasi.Â
Sayangnya daya tarik ini bisa menjadi bumerang bagi investor. Tren investasi saham, logam mulia, hingga p2p lending melejit seiring perkembangan e-commerce. Kembali disayangkan bahwa iklim berusaha yang terpercaya menjadi salah satu faktor yang meragukan bagi keberlangsungan tren tersebut.
Pemerintah sendiri gembar-gembor sekali menawarkan proyek investasi di luar negeri. Lantas apa kabar proyek investasi yang dikelola oleh anak negeri? Terawasi dengan baik kah? Terbentuk iklim usaha yang baik kah? Jawaban normatif terbaik tentulah fifty-fifty. Penilaian tergantung berapa banyak bintang yang didapat di app store yang telah di unduh.Â
Contoh kasus peer to peer lending alias pinjam meminjam antara borrower dengan lender. Dalam hal ini fintech p2p lending diawasi langsung oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan rakyat itu sendiri. Berbagai desas-desus dan obrolan sana-sini barulah tulisan ini dapat terbit dengan perasaan was-was dan kekecewaan mendalam (hehe lebay).Â
Sebagai rakyat biasa dengan harapan memiliki penghasilan pasif dengan ongkang-ongkang kaki scroll sana sini tentu berinvestasi sangat menggiurkan. Sampai pada titik ingin ikut ikutan mempelajari berbagai jenis investasi untuk sekedar mendapat kesimpulan bahwa "tiada yang instan".
Pertama, semua produk invetasi memang menghasilkan tetapi memerlukan waktu dan modal yang tidak sedikit. Waktu untuk belajar secara teliti dan jeli menangkap peluang sampai benar benar yakin akan menjatuhkan pilihan pada investasi tertentu. Banyak sekali iklan dengan tawaran menggiurkan mulai dari return melebihi batas wajar akal sehat, jaminan uang kembali, hingga jangka waktu pengembalian tercepat.Â
Percayalah itu hanya sugesti agar semakin tergesa dalam mengambil keputusan. Modal yang diperlukan dalam investasi sekalipun 30 ribu rupiah tetaplah isi kantong yang perlu dikeluarkan yang kalau kita bandingkan dengan kita makan sendiri cukup satu hari makan dan cukup pula untuk menyangkul satu bedengan tanah sawah sepanjang 15-20 meter. Artinya sesedikit apapun itu namanya pengorbanan. Belum lagi masa tunggu untuk investasi dapat berbulan-bulan hingga tahunan.
Kedua, seringkali pemain dalam bidang ini bukanlah menciptakan iklim yang baik bagi orang-orang yang benar-benar baru dan sedang mencari alternatif perekonomian yang sedang lesu. Terinspirasi dari investasi di zaman nabi baik yang dilakukan oleh Khadijah maupun Abdurrahman bin Auf yang dijalankan oleh orang terpercaya hingga mencapai kesuksesan tentu berbeda di zaman ini, meskipun tidak semuanya.Â
Bisa saja niat awal pendirian perusahaan p2p lending memang membantu pengusaha kecil dan memfasilitasi rakyat bermodal kecil yang tidak mampu berusaha secara maksimal dengan modal seadanya. Semakin ke belakang, malah skema gali lobang tanpa tutup lobang. Akhirnya modal kecil rakyat juga yang menjadi santapan. Lingkaran ini tentu melahirkan kebencian dan kekecewaan banyak orang terutama pemodal kecil.
Ketiga, perlindungan bagi lender yang telah kehilangan atau tertunda kembalinya modal sangat memprihatinkan. Berbagai laporan mungkin sudah menjadi makanan sehari-hari di OJK maupun AFPI tentang investasi bodong sampai gagal bayar.Â
Kalau misalkan menggunakan prinsip bagi hasil tentu saja kegagalan usaha ditanggung bersama, tapi apa benar sepenuhnya di luar faktor alamiah? bukan keteledoran dan kesalahan peritungan? masih menjadi tanda tanya besar sekaligus perlu jawaban jujur dari pengusahan fintech maupun borrower.