privilese anak untuk terus diasuh dan dididik dengan penuh kasih sayang orang tua. Tiada tuntutan untuk dapat segera berbicara atau berjalan bahkan sekedar berdiri. Masa itu anak-anak adalah raja diraja yang terus mendapat perhatian utuh dari orang tua.
Menjadi seorang anak tentu merupakan kebahagiaan bagi siapapun. Merasakan setiap sentuhan orang tua sejak kecil hingga menemani hari tua mereka. Waktu kecil anak merupakanLatar belakang orang tua sangat berarti banyak bagi tumbuh kembang sang anak. Setiap treatment yang diberikan memberi dampak terhadap kemampuan seorang anak. Hal ini juga berhubungan dengan background orang tua baik segi keturunan, pekerjaan, bahkan pribadi-pribadi orang tua.Â
Sayangnya masih banyak PR bangsa ini dalam membimbing orang tua menjadi orang yang layak untuk anak-anaknya kelak. Slogan "Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya" masih terdengar indah padahal tak semua tumbuh dengan sempurna, berbuah di usia yang wajar, atau sekedar tidak patah ranting ketika diterpa angin. Menyiapkan generasi memerlukan terobosan keberanian mengambil langkah berbeda agar tidak terjadi yang kaya semakin kaya dan yang miskin tetap atau bahkan semakin miskin.
Wujud kegagalan bangsa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa salah satunya adalah dunia pendidikan yang tidak humanis tetapi kapitalis tingkat tinggi untuk memenuhi pasar kerja dengan harga murah. Penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan terasa sangat pahit ketika berhadapan dengan dunia pendidikan. Anak-anak yang sedang menempuh dunia pendidikan dicekoki berbagai materi namun di akhir masa studi masih banyak yang belum mengerti untuk apa mengikuti pendidiikan selama ini. Lahirlah istilah quarter life crisis karena buruknya alur pendidikan bagi generasi.
Langkah penting bagi orang tua tentu bagi  yang "mampu" adalah menyediakan karpet merah bagi anak untuk mengikuti jejak karir mereka. Bayangkan juga di luar sana mayoritas adalah kelompok rentan hingga tidak mampu untuk sekedar percaya diri mengatakan "nak ikutilah jalan orang tuamu pasti kamu akan sukses" yang ada adalah "Kamu harus berbeda dan mendapatkan yang lebih baik dari kami". Beban akan semakin berat bagi sang anak karena definisi "lebih baik" tentu saja bereferensi kisah-kisah sukses di luar sana yang bak gunung sangat sulit didaki jika tanpa bekal berarti.
Menghadapi dunia semacam ini memerlukan penegakan tatanan nilai-nilai Ilahiah agar tidak semakin terjerumus dalam materialisme dan eksistensialisme. Di tengah usaha memperbaiki generasi ini, tantangan kembali muncul dari arus polarisasi entah karena kepentingan semata atau berjalan alamiah seemakin menyulitkan dalam proses pencarian jati diri bagi generasi muda. Hiruk pikuk suara seakan semuanya menggoda namun berakhir buruk karena dasarnya hanya kepentingan materi.
Kembali ke anak-anak yang sedang menempuh dunia pendidikan, berdasarkan karakteristik setiap individu tentu kesuksesan akan "terlihat" mampu dengan mudah diraih oleh orang-orang yang memiliki kelantangan berbicara, narasi, relasi, dan seonggok ciri orang terkenal lainnya. Pemandangan seperti ini menjadi santapan anak-anak di dunia pendidikan sebagai pembanding diri. Bagi diri-diri yang mampu dan memiliki motivasi lebih tentu menjadi pemicu untuk ikut dalam pusaran hegemoni. Lalu bagaimana dengan yang tak cukup percaya diri? tetap menjadi penikmat suguhan dari kejauhan dengan perasaan rendah diri.
Lukisan dalam bingkai lain yang dapat kita pandangi adalah gelapnya misteri dibalik cerita para penuntut ilmu yang tiba-tiba tak diketahui setelah di akhir masa studi. Direndahkan dan dianggap sisa-sisa peradaban tanpa ada yang memperhatikan demi sebuah tugas akhir menuju gelaran tugas tiada akhir lainnya dalam kehidupan nyata. Mereka terus menunggu untuk dapat berucap kata "akhirnya". Hanya itu. Seiring jaringan pertemanan yang semakin kecil dan tatapan hina sang pemberi tanda tangan.
Komunikasi adalah kendala bagi "orang-orang sisa" ini. Sedikit menurunkan ego diri untuk merangkul mereka dalam kebersamaan. Walaupun sudah pasti mereka tidak ingin menyerah terlalu dini. Bangkitkan kepercayaan diri mereka dengan rangkulan kekeluargaan dan persaudaraan sehingga mereka tidak terkucilkan meskipun di dunia sempit ini. Memang berteman dengan nasib memerlukan pendampingan dari orang tua sebagai penanggung jawab karena telah melahirkan mereka, pendidik dengan dedikasinya, teman-teman dengan kemanusiaannya, dan masyarakat sebagai bagian darinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI