Mohon tunggu...
Luqman Fahrudin
Luqman Fahrudin Mohon Tunggu... Lainnya - Kreatif

Menulis kreatif

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jeritan Hati Si Penebang Kayu #001

26 Januari 2022   23:11 Diperbarui: 2 Juni 2023   15:23 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kabut berangsur lenyap, perlahan bergerak menuju kaki bukit.
Iya tersibak oleh sang surya yang semakin angkuh meninggi di atas kepala.
Dengan gagah, ia pancarkan cahaya menerangi setengah bumi.

Suara teriakan mulai terdengar dari atas bukit,
berawal samar kemudian semakin keras tak kala aku semakin dekat.
Sepertinya ia marah, entah dengan siapa.
Memaki sambil menuding itu penyebab bencana.

Dari tempat kakiku berdiri,
terlihat jelas seorang pria dengan kamera.
Terbelalak mataku melihatnya,
tak kuasa batinku menahannya,
lantas aku pun meneteskan air mata.

Mohon maaf bapak... itu bukan sesaji,
Itulah makan siang ku hari ini.
Memang hanya sebungkus nasi, ditemani ikan asin,
kopi hitam dan tiga batang rokok.

Kini telah bapak tendang masuk kedalam jurang itu.
Bencana, lenyap makan siang ku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun