Mohon tunggu...
Luqman Achmad
Luqman Achmad Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Mantan Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Jenderal Soedirman

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pelanggar Peraturan

13 Mei 2012   03:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:22 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin hampir semua orang yang telah berumur 17  tahun keatas di Indonesia akan mengunjungi Polres di daerahnya masing-masing, entah untuk hal apa, namun yang paling umum adalah pembuatan SIM atau surat izin mengemudi.

Begitu pula saya, sabtu kemarin saya pergi mengunjungi polres salah satu kota di Jawa Barat, pada mulanya semua berjalan seperti biasa, saya memarkir motor, saya menerima surat parkir dan saya menuju kedalam daerah polres.

Disana terpampang dengan jelas tulisan "para pemohon sim hindari berhubungan dengan calo/perantara", namun tepat dibawah tulisan itu banyak orang yang sedang berkerumun untuk menjajakan jasa mereka sebagai perantara atau calo sim tersebut. Individu berbaju sipil yang menjajakan jasanya itu memang sebuah ironi yang dianggap lazim di Indonesia namun selain mereka ada satu ironi lagi yang lebih besar yaitu individu berseragam polisi yang juga menjajakan jasa sebagai perantara pembuat sim dalam waktu cepat.

Ironi yang tumbuh disini adalah mereka sosok  yang membuat peraturan tersebut namun mereka yang melanggarnya,bahkan dalam kasus yang saya alami sosok berseragam ini menjajakan jasanya hanya berjarak beberapa meter dari imbauan yang telah tersebut diatas. Kemudian sepanjang hari itu saya terus berpikir apa yang sebenarnya mereka pikirkan, apakah mereka tidak merasa terbebani dengan status mereka sebagai penegak keadilan atau lebih jelasnya penyelaras peraturan, apakah mereka tidak memperdulikan opini masyarakat yang semakin hari semakin buruk terhadap lembaga mereka secara keseluruhan, ataukah hal seperti ini sudah menjadi hal biasa bagi mereka.

Meskipun peribahasa karena nila setitik rusak susu sebelangga telah kita pahami dan mungkin kita terapkan dalam persepsi kita terhadap lembaga penegakan hukum ini, namun secara sosial tentu kita tidak dapat dengan serta merta menjustifikasi bahwa seluruh kesatuan penegak keadilan memiliki perilaku yang sama dengan yang dilakukan oleh salah satu individu dalam kesatuan tersebut, dan kita juga tidak dapat serta merta menilai negatif perilaku individu tersebut, karena semua yang terjadi berawal dari sebuah alasan.

Salah satu dosen dalam sebuah perkuliahan yang saya ikuti pernah membahas efek sebab akibat dalam sebuah kasus kecelakaan kereta yang terjadi di Indonesia, dia bertanya sebenarnya siapa yang salah dalam kasus kecelakaan kereta, kami para mahasiswa memiliki pandangan masing-masing tentang siapa yang bersalah, namun sang dosen kemudian menjelaskan bahwa kejadian ini terjadi akibat adanya efek sebab-akibat, setiap individu yang berkaitan dengan kecelakaan tersebut berhak disalahkan tapi apakah kita pernah coba mendalami kehidupan mereka, sebagai contoh penjaga pintu perlintasan kereta, gaji mereka amat sangat kecil dari aktifitas menjaga pintu perlintasan kereta api tersebut, sehingga ketika mereka telah selesai dengan penjagaan pintu perlintasan itu mereka mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Penjelasan dosen itu membuat saya kembali bertanya apakah yang menjadi alasan mereka melakukan bisnis sebagai perantara pembuat sim tersebut, apakah negara ini tidak menggaji para penegak keadilan dengan cukup, sehingga mereka harus melakukan pekerjaan sampingan meskipun itu melanggar peraturan yang mereka buat sendiri?, ataukah mereka menganggap hal ini sebagai hal biasa dan lumrah dalam negara ini sehingga mereka tidak ragu-ragu untuk menjadi bagian dalam bisnis ini untuk mendapatkan pemasukan tambahan meskipun sebenarnya gaji mereka sudah mencukupi, karena memang pada dasarnya keperluan akan uang tidak mengenal kata cukup atau lebih hanya ada kata kurang?

Apakah di Indonesia ini memang telah menjadi budaya, bahwa lembaga yang menciptakan peraturan adalah yang pertama atau setidaknya berada pada posisi berikutnya dalam pelanggaran peraturan itu sendiri. Jika memang benar, berapa tahun lagi masyarakat akan bertahan sebelum akhirnya mereka memulai perubahan secara besar-besaran...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun