Kasus pelecehan seksual yang menyeret nama I Wayan Agus Suartama, atau dikenal sebagai Agus Buntung, menuai perhatian publik belakangan ini.
Ketika kasus ini menyeruak, banyak orang yang tidak percaya dan bertanya-tanya bagaimana mungkin seorang penyandang disabilitas melakukan pelecehan seksual.
Agus Buntung adalah penyandang disabilitas tunadaksa-yang menurut penuturan netizen yang meragukan pengakuan para korban-ia dianggap tidak mungkin melakukan pelecehan karena tidak punya tangan dan untuk pakai baju saja harus dibantu ibunya.
Namun, setelah adanya laporan dari seorang mahasiswi yang mengaku menjadi salah satu korbannya, muncullah korban-korban lainnya. Total korban yang terungkap sampai artikel ini ditulis ada 17 orang dan beberapa diantaranya masih di bawah umur.
Ternyata, Agus menjebak korbannya dengan manipulasi emosional dan ancaman psikologis agar korban mau menuruti keinginannya. Kemarahan masyarakat makin menjadi setelah bukti rekaman video dan suara mulai terungkap.
Kasus Agus Buntung sejatinya menunjukkan bahwa bias dalam memandang orang dengan disabilitas masih tinggi di masyarakat kita. Orang dengan disabilitas sering dipandang sebagai pribadi yang tidak berdaya, tidak mandiri dan perlu dikasihani.
Padahal yang membuat disabilitas "tidak berdaya" seringkali bukan karena kondisi fisik atau mentalnya yang spesial, tetapi karena tidak tersedianya fasilitas yang mendukung kebutuhan dan aktivitas mereka sehari-hari.
Sementara itu, budaya victim blaming alias menyalahkan korban juga masih jamak kita temukan, terutama pada korban kejahatan seksual.
Untuk speak up dan melapor ke pihak berwajib, bukanlah perkara mudah bagi korban pelecehan seksual. Pengakuan mereka kerap disepelekan, tidak dipercaya, dianggap cari perhatian, dituduh kalau mereka sebenarnya suka diperlakukan demikian, sampai diancam dan diintimidasi oleh pelaku.
Korban akan lebih sulit mendapat keadilan ketika pelakunya adalah orang dengan kondisi ekonomi dan status sosial yang terhormat.